Sabtu, 25 Juni 2011

BUDIDAYA TANAMAN NILAM (Pogostemon cablin Benth.)


Yang Nuryani
Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aromatik

Tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth.) merupakan salah satu tanaman penghasil minyak atsiri yang penting, menyumbang devisa lebih dari 50% dari total ekspor minyak atsiri Indonesia. Hampir seluruh pertanaman nilam di Indonesia merupakan pertanaman rakyat yang melibatkan 32.870 kepala keluarga petani (Ditjen Perkebunan, 2006).
Indonesia merupakan pemasok minyak nilam terbesar di pasaran dunia dengan kontribusi 70%. Ekspor minyak nilam pada tahun 2004 sebesar 2.074 ton dengan nilai US $ 27,136 juta (Ditjen Perkebunan, 2006) produksi nilam Indonesia sebesar 2.382 ton, sebagian besar produk minyak nilam diekspor untuk dipergunakan dalam industri parfum, kosmetik, antiseptik dan insektisida (Dummond, 1960 ; Robin, 1982, Mardiningsih et al., 1995). Dengan berkembangnya pengobatan dengan aromaterapi, penggunaan minyak nilam dalam aromaterapi sangat bermanfaat selain penyembuhan fisik juga mental dan emosional. Selain itu, minyak nilam bersifat fixatif (mengikat minyak atsiri lainnya) yang sampai sekarang belum ada produk substitusinya (Ibnusantoso, 2000).
Di Indonesia daerah sentra produksi nilam terdapat di Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Riau dan Nanggroe Aceh Darussalam, kemudian berkembang di provinsi Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalteng dan daerah lainnya. Luas areal pertanaman nilam pada tahun 2004 sekitar 16.639 ha, namun produktivitas minyaknya masih rendah rata-rata 198,72 kg/ha/tahun (Ditjen Perkebunan, 2006). Dari hasil pengujian di berbagai lokasi pertanaman petani, kadar minyak berkisar antara 1-2% dari terna kering (Rusli et al .,1993).

         Rendahnya produktivitas dan mutu minyak antara lain disebabkan rendahnya mutu genetik tanaman, teknologi budidaya yang masih sederhana, berkembangnya berbagai penyakit, serta teknik panen dan pasca panen yang belum tepat.
         Penyakit yang dapat menyebabkan kerugian besar pada pertanaman nilam adalah penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum (Nasrun et al., 2004), penyakit budog yang diduga disebabkan oleh virus (Sitepu dan Asman, 1991) dan penyakit yang disebabkan oleh nematoda (Djiwanti dan Momota, 1991 ; Mustika et al., 1991). Nematoda dapat merusak fungsi akar, merubah proses fisiologi tanaman serta mengurangi efisiensi fotosintesa sehingga pertumbuhan tanaman terhambat, produktivitas dan mutu  rendah (Evans, 1982 ; Melakeberhan et al., 1990). Serangan nematoda (Pratylenchus brachyurus) pada tanaman nilam dapat mengurangi berat bagian atas tanaman (batang, daun, ranting) sampai 72% (Mustika dan Rostiana, 1992 ; Nuryani et al., 1999).
         Penyakit layu bakteri menyebabkan kerugian sebesar 60-95% pada pertanaman nilam di Sumatera (Sitepu dan Asman, 1991). Dewasa ini penyakit tersebut sudah ditemukan pula di pertanaman nilam di Jawa Barat, Jawa Tengah dan daerah lainnya, namun persentase serangan tidak sebesar di Sumatera.
         Tanaman nilam yang umum dibudidayakan adalah nilam Aceh, karena kadar minyak (> 2%) dan kualitas minyaknya (PA > 30%) lebih tinggi dari pada nilam Jawa (kadar minyak  < 2%) (Nuryani dan Hadipoentyanti, 1994). Nilam Aceh tidak berbunga, perbanyakannya dilakukan secara vegetatif (setek), sehingga keragaman genetiknya rendah. Peningkatan keragaman genetik secara alami diharapkan hanya dari mutasi alami yang frekuensinya biasanya rendah (Simmonds, 1982). Keterbatasan sumber genetik merupakan salah satu faktor penentu dalam pemuliaan tanaman nilam. Untuk meningkatkan keragaman genetik pada tahap awal dilakukan pengumpulan plasma nutfah nilam dari berbagai daerah terutama dari sentra-sentra produksi.
         Dari hasil eksplorasi telah terkumpul 28 nomor yang kadar minyaknya bervariasi antara 1,60-3,59% (Nuryani et al., 1997). Hasil seleksi dari nomor-nomor tersebut, diperoleh 4 nomor harapan yang produktivitas, kadar dan mutu minyaknya relatif tinggi, yaitu nomor 0003, 0007, 0012 dan 0013. Keempat nomor tersebut telah diuji multilokasi di Ciamis, Cimanggu dan Sukamulya. Dari hasil uji multilokasi diperoleh 3 varietas unggul baik produksi terna maupun kadar dan mutu minyaknya, ketiga varietas tersebut adalah : Tapak Tuan, Lhokseumawe dan Sidikalang (Nuryani et al., 1994).
         Penggunaan varietas nilam yang tepat, disertai teknik budidaya yang baik, panen dan pengolahan bahan yang sesuai akan menghasilkan produksi minyak tinggi.

 


PENGENALAN VARIETAS

         Nilam (Pogostemon sp.) termasuk famili Labiateae, ordo Lamiales, klas Angiospermae dan devisi Spermatophyta. Di indonesia terdapat tiga jenis nilam yang dapat dibedakan antara lain dari karakter morfologi, kandungan dan kualitas minyak dan ketahanan terhadap cekaman biotik dan abiotik. Ketiga jenis nilam tersebut adalah: 1) P. cablin Benth. Syn. P. patchouli Pellet var. Suavis Hook disebut nilam Aceh, 2) P. heyneanus Benth disebut nilam jawa dan 3) P. hortensis Becker disebut nilam sabun (Guenther, 1952). Diantara ketiga jenis nilam tersebut, nilam Aceh  dan nilam sabun tidak berbunga. Yang paling luas penyebarannya dan banyak dibudidayakan yaitu nilam Aceh, karena kadar minyak dan kualitas minyaknya lebih tinggi dari kedua jenis yang lainnya.
         Nilam Aceh merupakan tanaman introduksi, diperkirakan daerah asalnya Filipina atau semenanjung Malaysia, masuk ke Indonesia lebih dari seabad yang lalu. Setelah sekian lama berkembang di indonesia, tidak tertutup kemungkinan terjadi perubahan-perubahan dari sifat-sifat asalnya. Dari hasil ekplorasi ditemukan ber macam-macam tipe yang berbeda baik karakter morfologinya, kandungan minyak, sifat fisika kimia minyak dan sifat ketahanannya terhadap  penyakit dan kekeringan. Nilam Aceh berkadar minyak tinggi  (> 2,5%) sedangkan nilam Jawa rendah (< 2%).
         Disamping nilam Aceh, di beberapa daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur petani mengusahakan juga nilam Jawa. Nilam Jawa berasal dari India, disebut juga nilam kembang karena dapat berbunga. Ciri-ciri spesifik yang dapat membedakan nilam Jawa dan nilam Aceh secara visual yaitu pada daunnya. Permukaan daun nilam Aceh halus sedangkan nilam Jawa kasar. Tepi daun nilam Aceh bergerigi tumpul, pada nilam Jawa bergerigi runcing, ujung daun nilam Aceh runcing, nilam Jawa meruncing. Nilam jawa lebih toleran terhadap nematoda dan penyakit layu bakteri dibandingkan nilam Aceh (Nuryani et al., 1997), karena antara lain disebabkan kandungan fenol dan ligninnya lebih tinggi dari pada nilam Aceh (Nurliani et al., 2001).

Varietas unggul nilam

         Tanaman nilam adalah tanaman penghasil minyak atsiri, oleh sebab itu produksi, kadar dan mutu minyak merupakan faktor penting yang dapat dipergunakan untuk menentukan keunggulan suatu varietas. Disamping  itu, karakter lainnya seperti sifat ketahanan terhadap penyakit juga merupakan salah satu indikator penentu. Banyak faktor yang mempengaruhi kadar dan mutu minyak nilam, antara lain, genetik (jenis), budidaya, lingkungan, panen dan pasca panen.

Produksi minyak
         Rata-rata produksi minyak nilam Indonesia masih sangat rendah yaitu 97.53 kg/ha (th. 2002), rendahnya produksi minyak disebabkan rendahnya produksi terna (4-5 ton/ha terna kering) dan kadar minyak (1-2%) yang rendah pula. Pada umumnya petani menanam jenis nilam yang kurang jelas asalnya atau disebut jenis lokal, di lokasi-lokasi tertentu seperti Ciamis, jenis lokal lebih unggul dari beberapa varietas yang dilepas, namun dilokasi lainnya keunggulannya tidak tampak sehingga jenis lokal Ciamis dapat dianggap unggul lokal.
         Balittro telah mengoleksi 28 nomor nilam, dari hasil seleksi terhadap beberapa nomor nilam, telah dilepas (2005) 3 varietas unggul yaitu Tapak Tuan, Lhoksemawe dan Sidikalang. Penamaan ketiga varietas nilam tersebut berdasarkan nama daerah asalnya. Ketiga varietas mempunyai keunggulan masing-masing. Tapak Tuan unggul dalam produksi dan kadar patchouli alkohol. Lhoksemawe kadar minyaknya tinggi sedangkan Sidikalang toleran terhadap penyakit layu bakteri dan nematoda (Tabel 1).

Tabel 1. Produksi terna kering, kadar minyak, produksi minyak dan kadar patchouli alkohol 3 varietas nilam.

Varietas
Produksi terna kering (ton/ha)
Kadar minyak (%)
Produksi minyak (kg/ha)
Kadar Patchouli alkohol (%)
Tapak Tuan
Lhokseumawe
Sidikalang
13.278
11.087
10.902
2.83
3.21
2.89
375.76
355.89
315.06
33.31
32.63
32.95

            Disamping karakter kwantitatif, karakter kualitatif yang dapat membedakan ketiga varietas tersebut adalah warna pangkal batang. Varietas Tapak Tuan, warna pangkal batangnya hijau dengan sedikit ungu, varietas Lhokseumawe lebih ungu dan varietas Sidikalang paling ungu (Gambar 1) deskripsi varietas dapat dilihat pada       tabel 3.

Kadar dan mutu minyak
         Diantara ketiga varietas unggul tersebut, kadar minyak tertinggi terdapat pada var. Lhokseumawe (3,21%), namun karena produksi ternanya lebih rendah dari pada produksi terna Tapak Tuan, oleh karena itu produksi minyaknyapun lebih rendah (355,89 kg/ha). (Tabel 1).
Mutu minyak ditentukan oleh sifat fisika-kimia minyaknya, faktor yang paling menentukan mutu minyak nilam adalah kadar patchouli alkohol (PA). PA merupakan komponen terbesar (50-60%) dari minyak (Walker, 1969) dan memberikan bau (odour) yang khas pada minyak nilam, karena antara lain mengandung nor-patchoulene(Trifilief, 1980). Pada ketiga varietas nilam unggul, kadar PAnya > 30%, merupakan syarat minimum untuk diekspor, kadar PA yang tertinggi pada Tapak Tuan (33,31%) (Tabel 1).
            Hasil analisis mutu minyak ketiga varietas, semuanya telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Standar Nasional Indonesia (SNI) (Tabel 2).


Tabel 2. Karakteristik mutu minyak 3 varietas nilam
Varietas
Warna
Berat jenis (250C)
Indek bias
(250C)
Putaran optik
Kelarutan dalam alkohol (90%)
Bilangan asam

(%)
Bilangan ester

(%
Tapak Tuan Lhokseumawe Sidikalang
Kuning muda
Kuning muda
Kuning muda
0.9722
0.9679
0.9651
1.5066
1.5070
1.5068
-55012’
-52024’
-52012’
1 : 1
1 : 1
1 : 6
0.76
0.74
0.57
2.47
3.96
3.83


TEKNIK BUDIDAYA
Apabila belum tersedia varietas unggul nasional (Tapak Tuan, Lhokseumawe, Sidikalang), atau varietas unggul lokal yang sudah mendapat rekomendasi dari dinas pertanian tingkat 1, untuk memenuhi kebutuhan benih dalam jumlah yang besar, sebaiknya dibuat kebun perbanyakan. Luas kebun disesuaikan dengan jumlah kebutuhan benih (luasan daerah pengembangan).
Kebun perbanyakan adalah suatu kebun yang terdiri atas satu atau beberapa varietas unggul, dengan tujuan memperbanyak benih/bahan tanaman untuk memenuhi kebutuhan konsumen atau pengguna. Varietas yang ditanam berasal dari kebun induk. Lokasi kebun perbanyakan sebaiknya berada di dekat lokasi pengembangan agar memudahkan pengiriman benih, Persayaratan dalam mendirikan kebun perbanyakan hampir sama dengan persyaratan mendirikan kebun induk, hanya jarak tanam dapat dipersempit yaitu antar barisan 80 cm dan dalam barisan 40 cm.

Penentuan Lokasi
         Kebun perbanyakan hendaknya terletak pada lokasi yang mudah dicapai, tidak tercemar hama dan penyakit, mudah dijangkau untuk penyediaan sarana (pupuk dll), pengangkutan bahan tanaman atau benih. Untuk efisiensi dalam pengiriman bahan tanaman sebaiknya lokasi kebun perbanyakan tidak terlalu jauh dari daerah pengembangan. Disamping itu faktor yang terpenting adalah tersedianya sumber air yang mencukupi di lokasi kebun untuk kegiatan pembibitan, penanggulangan hama dan penyakit dan sebagainya.

Syarat tumbuh

         Tanaman nilam tumbuh dan berproduksi dengan baik dari 0-700 m dpl. (Rosman etr al., 1998). Didataran tinggi nilam dapat tumbuh dengan baik namun kadar minyaknya lebih rendah (< 2%) dibandingkan yang tumbuh didataran rendah (> 2%). Sebaliknya pada dataran tinggi kadar patchouli alkohol (PA) akan lebih tinggi dibandingkan didataran rendah. PA merupakan faktor terpenting dalam menentukan mutu minyak nilam. Nilam menghendaki intensitas matahari 75-100%, tanaman yang kurang mendapat cahaya matahari (ternaungi), kadar minyaknya akan rendah.
         Nilam dapat tumbuh diberbagai jenis tanah (andosol, latosol, regosol, padsolik, kambisol) akan tetapi akan tumbuh lebih baik pada tanah yang gembur dan banyak mengandung humus, bertekstur lempung sampai liat berpasir, pH 5,5-7. Kemiringan tanah sebaiknya kurang dari 15o. Iklim yang dikehendaki adalah iklim sedang dengan curah hujan rata-rata 3000 mm /tahun dan penyebarannya merata sepanjang tahun. Nilam sangat peka terhadap kekeringan, kemarau panjang setelah pemangkasan / panen dapat menyebabkan tanaman mati. Suhu yang dikehendaki sekitar 24-28oC dengan kelembaban relatif 70-90%. Lahan harus bebas dari penyakit terutama penyakit layu bakteri, budog dan nematoda.

·         Persiapan Bahan Tanaman dan Persemaian

Pemilihan varietas
Untuk memperoleh produksi minyak yang tinggi, pilih varietas unggul, yang produksi/kadar dan mutu minyak tinggi yaitu : Tapak Tuan, Lhokseumawe dan Sidikalang. Sel-sel minyak terutama terdapat pada daun (Guenther, 1952), oleh karena itu, produksi (terna) tinggi akan menghasilkan produksi minyak tinggi pula, apabila varietas tersebut mengandung kadar minyak yang tinggi.

Persiapan rumah atap, media semai dan sungkup :
-          Pilih areal yang sehat/tidak tercemar jamur patogen, dekat sumber air.
-          Buat rumah atap setinggi 2 m yang condong kearah Timur. Bentuk dan luasan disesuaikan dengan kebutuhan. Siapkan campuran tanah dengan pupuk kandang dengan perbandingan 2:1 (v/v).
-          Polibag (yang berlubang) dengan ukuran 15 x 10 cm diisi dengan media yang telah disiapkan dan diletakkan secara teratur di bawah rumah atap, kemudian disiram dengan menggunakan emprat.
-          Untuk mempertahankan kelembaban agar setek tidak layu setelah ditanam perlu diberi sungkup dari plastik. Kerangka sungkup dibuat dari bambu dengan ukuran lebar 1 m, tinggi ½ m dan panjang sesuai kebutuhan.



Perbanyakan bahan tanaman dan penyemaian
Setek nilam sebaiknya disemai terlebih dahulu karena apabila langsung ditanam di lapangan, banyak yang mati.
-          Perbanyakan tanaman nilam secara vegetatif dengan menggunakan setek. Setek yang paling baik adalah setek pucuk mengandung 4-5 buku selain itu setek juga dapat diambil dari cabang dan batang. Untuk mengurangi penguapan, daun tua dibuang, sisakan 1-2 pasang daun muda/pucuk.
-          Waktu mempersiapkan setek sebaiknya setek direndamkan dalam air sebelum disemai dipolibag.
-          Penyemaian dilakukan dengan cara membenamkan satu buku ke dalam media semai dengan terlebih dahulu membuang daun pada buku yang akan dibenamkan. Kemudian tanah disekeliling tanaman dipadatkan.
-          Untuk penanaman langsung di lapangan, setek diambil dari cabang yang sudah tua (mengayu), dipotong sepanjang ± 30 cm.
Kebutuhan tanaman untuk satu hektar ± 20.000 tanaman, untuk penyulaman tanaman yang mati, persiapan bahan tanaman sebaiknya dilebihkan.

Pemeliharaan di persemaian
         Untuk menjaga kelembaban, setek yang baru disemai perlu disiram. Penyiraman dilakukan setelah penyemaian, kemudian disungkup dengan sungkup plastik. Penyiraman selanjutnya setelah 2-3 hari kemudian. Selama di dalam sungkup, penyiraman tidak perlu dilakukan setiap hari. Sungkup dibuka setelah tanaman berumur 2 minggu. Pemberian pupuk melalui daun dan penaggulangan hama/penyakit (kalau diperlukan) dilakukan satu kali seminggu. Benih siap tanam setelah 1.5 bulan dipersemaian

·         Persiapan Lahan dan Penanaman

Persiapan lahan dan lubang tanam
-          Tanah dicangkul, dibersihkan dari gulma (alang-alang dsb), kemudian digaru dan diratakan.
-          Lubang tanam dibuat dengan ukuran 30 cm x 30 cm x 30 cm, dengan jarak tanam antara barisan 90 cm-100 cm dan jarak tanam dalam barisan 40 cm-50 cm. Jarak tanam disesuaikan dengan kondisi lahan. Pada lahan datar, jarak tanam dalam barisan lebih besar (100 cm x 50 cm) sedangkan pada lahan yang agak miring (± 150) jarak tanam dalam barisan lebih sempit (40 cm) dan arah baris menurut kontur tanah. Pada lokasi dengan kesuburan yang tinggi (banyak humus) jarak tanam sebaiknya 100 cm x 100 cm, karena pada umur 5-6 bulan, kanopi sudah bertemu.

Pembuatan saluran drainase
            Tanaman nilam tidak menghendaki adanya air yang tergenang, untuk itu perlu dibuat saluran drainase. Saluran drainase dibuat sekeliling dan didalam kebun kebun (atau sesuai kebutuhan) dengan ukuran 30 cm x 30 cm (lebar x dalam).

Penanaman dan penyulaman
            Setelah tanaman berumur ± 1 ½ bulan dipersemaian, tanaman dapat dipindahkan kelapangan. Cara menanam yaitu dengan meyobek polibag secara hati-hati dan menanam tanaman di lubang yang telah disediakan, kemudian tanah dipadatkan dengan cara menekan tanah disekitar tanaman.
            Setek yang langsung di tanam di lapangan adalah setek yang telah berkayu ± 30 cm, dibenamkan 2 buku kedalam tanah. Penanaman langsung kelapangan berisiko tanaman banyak yang mati. Tanaman yang mati disulam dengan tanaman baru, untuk itu persiapan bahan tanaman harus mencukupi.

 

·         Pemeliharaan

Pemupukan
            Disamping pupuk dasar yang diberikan pada waktu tanam berupa pupuk organik (pupuk kandang, kompos dll) 1-2 kg/lubang tanam, untuk memacu pertumbuhan tanaman perlu diberi pupuk anorganik. Dosis dan komposisi pupuk yang diberikan tergantung dari jenis tanah dan tingkat kesuburannya. Penelitian pemupukan  dengan dosis 280 kg N + 70 TSP + 140 kg KCl per hektar, pada tanah ultisol menghasilkan  10-13 ton terna kering per ha/tahun (Nuryani et al., 2005). Pemupukan I dilakukan pada umur 1 bulan, dengan dosis 1/3 N + P + K, pemupukan II pada umur 3 bulan dengan dosis 2/3 N. Pemupukan selanjutnya pada umur 6 bulan (setelah panen I) dan 10 bulan (setelah panen II) dipupuk dengan dosis ½ N + ½ P + ½ K  + 2 kg pupuk kandang.

Pemberian mulsa / penutup tanah
Tanaman nilam tidak tahan kekeringan, terutama setelah dilakukan pemangkasan (panen). Kemarau panjang dapat menyebabkan kematian tanaman. Untuk menjaga kelembaban tanah dan mengurangi penguapan, tanaman diberi mulsa berupa semak belukar atau alang-alang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mulsa semak belukar lebih baik dibandingkan alang-alang karena pelapukan lebih cepat terjadi, sehingga dapat menambah bahan organik (Tasma dan Wahid, 1988).


Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman
Penyakit pada tanaman nilam
A. Penyakit layu bakteri
Penyakit layu bakteri disebabkan oleh bakteri Ralstonia solanacearum (Nasrun et al., 2003), merupakan salah satu penyakit yang menyebabkan kerugian cukup besar bagi petani nilam. Gejala serangan yang ditimbulkan berupa kelayunan pada tanaman muda maupun tua, dan dalam waktu singkat menimbulkan kematian tanaman(Sitepu dan Asman, 1998). Penyakit ini menyebabkan kerugian sebesar 60-95% pada pertanaman nilam di Sumatera (Asman et al., 1998). Selain di Sumatera (Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bengkulu), ditemukan juga pada pertanaman nilam di Jawa Barat, Jawa Tengah. Untuk menanggulangi penyakit tersebut telah dilakukan berbagai upaya antara lain secara kimiawi namun belum memberikan yang memuaskan.
Dari hasil pengamatan baik rumah kaca (pembibitan) maupun di lapangan. Diantara ketiga varietas yang telah dilepas, varietas Sidikalang lebih toleran dibandingkan varietas lainnya (Tabel 3).


Tabel. 3 Persentase tanaman mati

Varietas
Persentase tanaman mati (%)
Sidikalang
Tapak Tuan
Lhokseumawe
6.0 a
19.2 b
39.0 c
Nuryani et al., 2005

Ketahanan nilam terhadap penyakit layu bakteri kemungkinan disebabkan adanya kandungan kimia yang dihasilkan oleh tanaman tersebut seperti fenol dan lignin . sebagai contoh pada tanaman tomat terdapat enzym-enzym pectic, cellulolytie (Prior et al., 1994), pada tanaman tembakau ditemui kandungan polyphenoloxidase dan phytoalexin (Akiew dan Trevorrow, 1994).
Penyakit layu bakteri dapat menulari tanaman nilam dari tanaman inang yang sudah ada pada lahan sebelum ditanami nilam, atau dari bibit yang telah mengandung penyakit. Untuk mencegah tertularnya tanaman, sebaiknya sebelum tanam terlebih dahulu diperhatikan tanaman apa saja yang telah ada dilahan yang akan ditanami dan yang lebih penting yaitu hindari pengambilan setek dari tanaman yang telah tertular penyakit.
Cara yang paling efektif untuk menekan kerugian karena berkurangnya produksi yang disebabkan oleh serangan penyakit layu bakteri adalah menanam varietas yang tahan. Berhubung sampai sekarang belum diperoleh varietas nilam yang tahan, penanggulangannya dapat dilakukan dengan memadukan komponen varietas, agen hayati dan budidaya (Supriadi et al., 2000). Agen hayati antara lain : Pseudomonas flurescens, dapat menekan perkembangan penyakit pada tanaman nilam hingga 68,75% (Nasrun, 1996), P. cepasia dan Bacillus sp., dapat menekan perkembangan penyakit dan meningkatkan produksi jahe besar (Mulya, 2000).
         Untuk mencegah penularan penyakit, benih yang akan ditanam harus bebas dari penyakit. Gejala penyakit layu bakteri yaitu tanaman layu, jadi setek jangan diambil dari tanaman yang telah layu.

B. Penyakit yang disebabkan oleh nematoda

         Nematoda menyerang akar tanaman nilam, kerusakan akar menyebabkan berkurangnya suplai air ke daun, sehingga stomata menutup, akibatnya laju fotosintesa menurun (Wallace, 1987). Beberapa jenis nematoda yang menyerang tanaman nilam antara lain Pratylenchus brachyurus, Meloidogyne incognita,  Radhopolus similis (Djiwanti dan Momota, 1991 ; Mustika et al., 1991).
         Salah satu mekanisme ketahanan nilam terhadap nematoda adalah adanya kandungan fenol dan lignin (Fogain dan Gowen, 1996 ; Valette et al., 1998). Senyawa fenol dan lignin merupakan proteksi alami dari tanaman terhadap factor biotic (Nelson, 1981). Salah satu varietas nilam Aceh yang lebih toleran terhadap nematoda dibandingkan varietas lainnya adalah varietas Sidikalang, kandungan fenolnya (81.45 ppm) lebih tinggi dari pada nilam Jawa (76.45 ppm) (Nuryani et al., 2001).  Nilam Jawa termasuk nilam yang tahan terhadap nematoda.
         Penanggulangan serangan nematoda, selain dengan varietas yang tahan/toleran, juga dengan agen hayati (Pasteuria penetrans, Arthrobotrys sp., jamur penjerat nematoda, pestisida nabati (serbuk biji nimba, bungkil jarak), nematisida dan budidaya (pupuk organik dll) (Mustika dan Nazarudin, 1998).
         Salah satu cara untuk mencegah penularan nematoda yaitu dengan menanam benih yang bebas dari nematoda. Gejala serangan nematoda terutama nampak pada warna daun yang berubah menjadi kecoklatan atau kemerahan. Disamping itu perlu diperhatikan tanaman inang yang telah ada dilokasi sebelum dipergunakan untuk menanam nilam. Tanaman inang bagi nematoda antara lain : pisang, jahe, tomat, kacang tanah dll.

C. Penyakit budog
         Penyakit budog diperkirakan disebabkan oleh virus (Sitepu dan Asman, 1992). Penyakit ini ditemukan dipertanaman nilam di Aceh dan Sumatera Barat, sejauh ini belum ditemukan di Jawa dan daerah lainnya. Gejala penyakit terlihat pada batang yang membengkak, menebal dan daun yang berkerut dan tebal, dengan permukaan bawah berwarna merah, permukaan atas daun menguning karena kekurangan unsur hara.
         Sampai saat ini belum ditemukan bahan kimia yang efektif untuk mengendalikan penyakit budog dan belum ada varietas nilam yang tahan terhadap penyakit ini. Diduga penyebaran penyakit oleh serangga, oleh karena itu tindakan budidaya perlu diperhatikan antara lain penyemprotan dengan insektisida untuk mematikan serangga/vektor, pergiliran tanaman, sanitasi kebun dan yang terpenting adalah menggunakan benih sehat. Tanaman yang sudah terserang penyakit tidak boleh diambil seteknya untuk perbanyakan.

Hama pada tanaman nilam

Hama yang menyerang tanaman nilam antara lain; belalang, kutu daun tungau dan ulat daun. Belalang dan ulat daun dapat menyebabkan tanaman gundul sehingga menurunkan produksi (terna). Serangan kutu daun dan tungau dapat menyebabkan daun menggulung dan berkeriput (keriting), sehingga sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Serangan hama dapat menyebabkan produksi menurun terutama karena pada umumnya bagian tanaman yang banyak diserang adalah daun.
Pengendalian hama pada tanaman nilam sebaiknya tidak menggunakan bahan kimia, karena walaupun minyak nilam tidak dikonsumsi, namun penggunaannya sebagai parfum, lation terutama pada aromaterapi secara langsung bersentuhan dengan kulit dan penciuman. Untuk itu dianjurkan menggunakan pestisida nabati seperti ekstrak biji nimba (100 g/l) (Trisilawati dan Siswanto, 1994) atau dengan agen hayati seperti Beauveria bassiana untuk ulat pemakan daun dan Metarrhizium anisopliae untuk belalang (Soetopo et al., 1998).

Pembumbunan
            Agar tanah tetap gembur dan merangsang pertumbuhan akar pada cabang-cabang dekat permukaan tanah, perlu dilakukan pembumbunan. Umumnya pembumbunan dilakukan pada umur 3 bulan dan setelah pemangkasan/panen.

Panen dan penyiapan bahan tanaman
         Pada kebun perbanyakan, panen stek pertama dilakukan pada umur 3-4 bulan, yaitu dengan memangkas cabang/batang setinggi 30 cm diatas permukaan tanah dengan menyisakan 1-2 cabang.
         Stek-stek yang baru dipangkas segera dibawa ketempat penyiapan benih, yaitu pondok atau tempat yeng teduh disekitar kebun perbanyakan dimana telah disediakan peralatan yang dibutuhkan untuk pengepakan. Stek-stek dibasahi dengan air kemudian diseleksi, untuk setek pucuk, terdiri dari 4-5 buku, daun tua pada buku-buku dibuang, kecuali 1-2 pasang daun pada pucuk, untuk setek batang / cabang, semua daun dibuang, untuk setek panjang yang akan ditanam langsung kelapangan panjang setek ± 30 cm dan sudah mengayu.
         Dari satu pohon dapat diperoleh 15-25 setek panjang yang dapat menjadi 30-50 setek pendek untuk disemai di polybag.
Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah :
·         Pilih stek yang cukup besar atau kekar
·         Stek yang baik adalah yang tidak bengkok
·         Stek tampak sehat tanpa gejala kekurangan hara atau tanda-tanda serangan penyakit dan hama.
·         Stek-stek yang tepilih kemudian dicelupkan ke dalam larutan fungisida 0,2 %
            Dalam 1 ha dibutuhkan 20 ribu benih. 1 ha kebun perbanyakan dapat memenuhi kebutuhan 30-40 ha per tanaman. Dalam 1 tahun dari 1 ha kebun perbanyakan dapat memproduksi benih untuk perluasan 80-100 ha.

Pergiliran Tanaman
            Pergiliran tanaman nilam dilakukan setiap selesai siklus pertanaman nilam (± 3 tahun), yaitu dengan menggunakan tanaman-tanaman yang sesuai dan berfungsi ganda, selain berfungsi memotong siklus hama dan penyakit juga dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Tanaman yang dapat dipergunakan untuk pergiliran antara lain legum, palawija setelah itu kembali ditanami nilam.

Polatanam Tanaman Nilam
            Umumnya tanaman nilam diusahakan secara monokuler, namun dapat juga ditanam secara tumpangsari dengan tanaman lain, seperti dengan tanaman palawija (jagung, cabe, terung dan lainnya). Selain dengan tanaman palawija, nilam dapat dipolatanamkan dengan tanaman tahunan seperti kelapa, kelapa sawit, karet yang masih berumur muda, karena tanaman nilam masih berproduksi dengan baik pada intensitas cahaya ± 75%. Polatanam ini akan memberikan keuntungan antara lain, menekan biaya operasional terutama biaya pemeliharaan, mengurangi risiko terjadi penurunan harga, kegagalan panen akibat serangan hama/penyakit, curah hujan yang sangat tinggi atau kekeringan dan meningkatkan produktivitas tanah oleh hasil tanaman sela. Selain itu bila limbah padat nilam hasil penyulingan dikembalikan ke lahan, dimana limbah padat ini masih mempunyai aroma dan bau khas, maka limbah ini akan berfungsi sebagai penolak serangga, sehingga tanaman selanya terhindar dari serangan hama. Disamping itu limbah ini dapat berfungsi sebagai bahan organik yang dapat menyuburkan tanam.  Dari hasil penelitian pola tanam, menunjukkan bahwa nilam dapat dipolatanamkan dengan jagung atau nilam + kacang tanah, nilam + kedele, nilam + kacang hijau, nilam + jagung + kacang tanah.
            Pada prinsipnya hampir semua tanaman dapat ditumpang sarikan dengan nilam asal : 1) tidak menimbulkan persaingan dalam hal penyerapan unsur hara, air dan cahaya matahari 2) tidak merupakan sumber hama/penyakit bagi tanaman nilam, sebaiknya yang saling menguntungkan. Oleh sebab itu waktu dan jarak tanaman antara sesama tanaman pokok dan antara tanaman pokok dengan tanaman sela harus diperhitungkan dengan cermat.
           
Panen dan Penanganan Pascapanen
            Panen pertama dilakukan saat umur tanaman 6 bulan dan panen berikutnya dilakukan setiap 4 bulan sampai tanaman berumur tiga tahun. Panen sebaiknya dilakukan pada pagi atau menjelang malam hari agar kandungan minyaknya tetap tinggi. Bila pemetikan dilakukan siang hari, sel-sel daun sedang berfotosintesa sehingga laju pembentukan minyak berkurang, daun kurang elastis dan mudah robek. Kandungan minyak tertinggi terdapat pada 3 pasang daun termuda yang masih berwarna hijau. Alat untuk panen bisa dipergunakan sabit dengan cara memangkas tanaman pada ketinggian ± 20 cm dari permukaan tanah. Ada baiknya kalau setiap kali panen ditinggalkan satu – dua cabang untuk merangsang tumbuhnya tunas-tunas baru pada fase selanjutnya.
            Terna (daun dan ranting) hasil panen dikering anginkan selama 2-3 hari untuk mengurangi kadar air sampai 15%, lapisan daun harus dibalik 2-3 kali sehari. Daun yang sudah cukup kering dapat disimpan atau langsung disuling.
            Hindari pengeringan yang terlalu cepat atau terlalu lambat. Pengeringan yang terlalu cepat membuat daun menjadi rapuh dan sulit disuling. Kalau terlalu lambat seperti musim hujan, daun menjadi lembab dan mudah terserang jamur, hingga rendemen dan mutu minyak yang dihasilkan rendah.

Proses penyulingan
            Penyulingan minyak nilam adalah suatu proses pengambilan minyak dari terna kering dengan bantuan air, dimana minyak dan air tidak tercampur. Penyulingan minyak nilam pada umumnya dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu :
1.    Penyulingan secara dikukus, pada cara ini bahan (terna kering) berada pada jarak tertentu di atas permukaan air (Gambar 1).
2.    Penyulingan dengan uap langsung, dimana bahan berada dalam ketel suling dan uap air dialirkan dari ketel uap pada bagian bawah suling (Gambar 2a dan 2b).






















Gambar 1. Alat penyulingan minyak nilam secara dikukus

            Kapasitas tangki suling umumnya dinyatakan dalam volume (liter). Kerapatan (bulk density) terna nilam kering berkisar antara 90-120 g/liter, tergantung dari persentase daun dan kadar airnya.
            Bahan konstruksi alat suling akan mempengaruhi mutu minyak dan warna minyak. Jika dibuat dari bahan plat besi tanpa digalvenis akan menghasilkan minyak berwarna gelap dan keruh karena karat. Alat suling yang baik adalah dibuat dari besi tahan karat (stainless steel), atau plat besi yang digalvanis (carbon steel) setidaknya pada bagian pipa pendingin dan pemisah minyak, agar diperoleh hasil minyak berwarna lebih muda dan jernih.
            Terna kering yang sudah dimasukkan kedalam ketel suling, sebaiknya dibasahi dengan air supaya terna tersebut dapat dipadatkan. Pembasahan dan pemadatan dilakukan terhadap terna selama pengisian ketel suling. Harus diingat bahwa penyulingan terna kering nilam akan menyerap air sebanyak bobotnya jadi pada penyulingan yang menggunakan sistem kohobasi hal ini harus diperhatikan agar tidak terjadi kekurangan air selama penyulingan.
            Lama penyulingan dengan cara dikukus antara 5-10 jam, sedangkan dengan cara uap langsung  lamanya berkisar antara 4-6 jam. Lama penyulingan ini tergantung dari cara, kapasitas ketel suling dan kecepatan penyulingan. Untuk penyulingan secara dikukus, kecepatan penyulingan yang baik adalah 0,6 uap/kg terna. Pada penyulingan dengan uap langsung tekanan uap mula-mula 1,0 ATM, lalu dinaikkan secara bertahap sampai 2,5 – 3 kg/cm2 (tekanan dalam ketel suling 0,5-1,5 kg/cm2) pada akhir-akhir penyulingan. Hal ini dimaksudkan agar fraksi berat antara lain patchouli alkohol sebagian besar baru akan tersuling pada suhu tinggi atau jika waktu penyulingan cukup lama (Mauludi dan Asman, 2005).































Gambar 2a. Penyulingan dengan uap langsung (tanpa tekanan)

























Gambar 2b. Penyulingan dengan uap langsung (skala besar)

DAFTAR PUSTAKA

Akiew, A. and P.R. Trevorrow, 1994. Management of Tobacco. Bacterial wilt. The    disease and its causal agents. Pseudomonas solanacearum. CAB. International p.179-197.

Asman, A., Ester M., Adhi dan D. Sitepu, 1998. Penyakit layu, budok dan penyakit lainnya serta strategi pengendaliannya. Monograf nilam. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat 5 : 84-88.

BPEN, 2003. Buyer guide to Indonesia essential oil. Deperindag – Jakarta.

Ditjen Perkebunan, 2006. Nilam. Statistik Perkebunan Indonesia. 2003-2006. 19 hal.

Djiwanti, S.R. and Momota, 1991. Parasitic nematodes associated with patchouli disease in West Java. Indust. Crops. Res. J. 3 (2) : 31-34.

Dummond, H.M., 1960. Patchouli oil. Journal of Perfumery and Essential Oil Record :  484-492 p.

Forgain, R. and S.R. Gowen, 1996. Investigations on possible mechanisms of resistance to nematodes in Musa. Euphytica 92 : 375-381.

Evans, K., 1982. Water use, calsium uptake and tolerance of cyst. Nematode attack in potatoes. Potato Res. 25:71-88.

Guenther, E., 1952. The Essential Oils. D. van Nostrand Co. Inc. New York. 2nd Ed. III 552-574p.

Hernani dan Risfaheri, 1989. Pengaruh perlakuan bahan sebelum penyulingan terhadap rendemen dan karakteristik minyak nilam. Pembe. Littri. 15 (2) : 84-87.

Ibnusantosa, G., 2000. Kemandegan pengembangan minyak atsiri Indonesia. Makalah disampaikan pada seminar “Pengusahaan Minyak Atsiri Hutan Indonesia”. Fak. Kehutanan IPB Darmaga Bogor, 23 Mei 2000.

Malakeberhan, H.T., H.J. Newbury & B.V. Ford-Lloyd, 1996. The detection of somaclonal variants of  beet using RAPD. Plant. Cell Rep. 15, 474-478.

Mardiningsih, T.L., Triantoro, S.L., Tobing dan S. Rusli, 1995. Patchouli oil product as insect repellent. Indust. Crops. Res. Journal 1 (3) : 152-158.

Mauludi, Ludi, Ariful Asman, 2005. Profil Investasi Pengusahaan Nilam. Unit Komersialisasi Teknologi Balittro. 42 hal.

Mulya, K., Supriadi, Ester, M.Adhi dan Nuri Karyani, 2000. Potensi bakteri antagonis dalam menekan perkembangan penyakit layu bakteri jahe. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 6 (2) : 37-43.

Mustika I., Y. Nuryani dan O. Rostiana, 1991. Nematoda parasit pada beberapa kultivar nilam di Jawa Barat. Bull. Littro VI (1) : 9-14.

Mustika I. And O. Rostiana, 1992. The growth of four patchouli cultivars infected with Pratylenchus brachyurus. Journal of Spice and Medicinal Crops 1 (2) : 11-18.

Mustika I., dan Susilo B. Nazarudin, 1998. Gangguan nematoda dan cara pengendaliannya. Monograf Nilam. Balittro 5 : 89-95.

Nasrun, 1996. Penggunaan Pseudomonas fluorescens dalam pengendalian penyakit layu tanaman jahe. Proc. Seminar on integrated control on main disease of industrial crop. Bogor 12-14 Maret 1996. hal 160-165.

Nasrun, Y. Nuryani, Hobir dan Repianyo, 2004. Seleksi ketahanan nilam terhadap penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum). Secara in planta. Journal Stigma XII (4) : 421-473.

Nelson, P.E., 1981. Life cycle and epidemiology of fusarium oxysporum in M.E. Moel. A.A. Ball and C.H. Beckman. Fungol with disease of plants. Academic. Press. New.York.640 p.

Nurdjannah, N. dan Makmun, 1994. Pengeringan bahan dan penyimpanan daun nilam kering. Pembr. Litantri XX (1-2) : 11-15.

Nuryani, Y., dan E. Hadipoentyanti, 1994. Koleksi, Konservasi, Karakterisasi dan Evaluasi Plasma Nutfah Tanaman Atsiri. Review hasil dan program penelitian plasma nutfah pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Deptan Hal, 209-219.

Nuryani, Y., C. Syukur dan Dadang Rukmana, 1997. Evaluasi dan Dokumentasi Klon-klon Harapan Nilam. Laporan Tahunan (tidak dipublikasikan).

Nuryani, Y., C. Syukur, Rita Harni, Yelnititis dan I. Mustika, 1999. Tanggap beberapa klon nilam terhadap nematoda pelubang akar (Radophulus similis Cobb.). Jurnal Littri 5 (3) : 103-109.

Nuryani Y., Ika Mustika dan Cheppy Syukur, 2001. Kandungan fenol dan lignin tanaman nilam hibrida (Pogostemon sp.) hasil fusi protoplas. Jurnal Littri 7 (4) : 104-107.

Nuryani, Hobir, Cheppy Syukur dan Ika Mustika, 2004. Usulan Pelepasan Varietas Nilam. 22 hal (tidak dipublikasikan).

Prior, P.V. Grimault and J. Schmit, 1994. Resistance to Bacterial Wilt (Pseudomonas solanacearum) in Tomato. Present status and Prospect. Bacterial wilt. The disease and its causative agent Pseudomonas solanacearum. CAB International p.115-119.

Robin, S.R.J., 1982. Selected market for the essential oils of patchouli and vetiver. Tropical Product Institute Ministry of Overseas Development. Great Britain G. 167: 7-20.

Rosman, R., Emmyzar dan pasril Wahid, 1998. Karakteristik lahan dan iklim untuk perwilayahan pengembangan. Monograf nilam. Balittro 5 : 47-54.

Rusli, S., Hobir,. A. Hamid, A. Asman, S. Sufiani dan M. Mansyur, 1993. Evaluasi Hasil Penelitian Minyak Atsiri, Balittro. 15 hal.

Singh, R.K. and R.D. Chaudhary, 1979. Biometrical methods in quantitative genetic analysis, Kalyani Publishers. New Delhi. 299 p.

Simmonds, N.W., 1982. Principles of Crops. Improvement. Logman. London-New York.

Sitepu, D. dan A. Asman, 1991. Penelitian penyakit nilam di Aceh. Laporan Kerjasama PT. Pupuk Iskandar Muda dan Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor 22 hal.

Soetopo, D.,L.M. Trisawa dan Wiratno, 1998. Hama penting dan strategi pegendaliannya. Monograf nilam. Balittro 5 : 75-83.

Supriadi, Karden Mulya dan Djiman Sitepu, 2000. Strategy for controlling wilt diseases of ginger caused by Pseudomonas solanacearum. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 19 (3) : 106-111.

Valette, C., C. Andary, J.P. Geiger, J.L. Sarah and M.Nicole, 1998. Histochemical and cytochemical investigations of phenols in roots of banana infected by the burrowing nematode radopholus similis. Phytopathotory 88 (11) : 1141-1147.

Tasma, I.M., dan P. Wahid, 1988. Pengaruh mulsa dan pemupukan terhadap pertumbuhan dan hasil nilam. Pembr. Littri. XV (1-2) : 34-40.

Trifilief, E., 1980. Isolation of the postulated precurser of nor patchoulenol in patchouli leaves. Phytochemistry 19. 2464.

Trisawa, I. M., dan Siswanto, 1994. Pengaruh ekstrak biji nimba terhadap ulat penggulung daun dan tungau merah pada tanaman nilam. Laporan Hasil Penelitian. 11 hal (tidak dipublikasikan).

Wallace, H.R., 1987. Effects of nematode parasites on photosynthesis. Vitos on Nematology. A. commemoration of the Twentyfifth anniversary. Society of Nematologists. Ins. Hyattville, Maryland. 34 : 253-259.

Walker, T.G. 1969. The structure and synthesis of patchouli alcohol. Manufacturing chemist and aerosol news p.2.

Lampiran

Tabel 1. Diskripsi 3 varietas nilam

No Seleksi/Karakteristik

0012
0007
0013
Asal
:
Tapak Tuan (NAD)
Lhokseumawe (NAD)
Sidikalang (Sumut)
Tinggi tanaman (cm)
:
50.57-82.28
61.07-65.97
70.70-75.69
Warna batang muda
:
Ungu
Ungu
Ungu
Warna batang tua
:
Hijau keunguan
Ungu kehijauan
Ungu kehijauan
Bentuk batang
:
Persegi
Persegi
Persegi
Percabangan
:
Lateral
Lateral
Lateral
Jumlah cabang primer
:
7.30-24.48
7.00-19.76
8.00-15.64
Jumlah cabang sekunder
:
18.80-25.70
11.42-25.72
17.37-20.70
Panjang cabang primer (cm)
:
46.24-65.98
38.40-63.12
43.01-61.69
Panjang cabang sekunder (cm)
:
19.80-45.31
18.96-35.06
25.80-34.15
Bentuk daun
:
Delta, bulat telur
Delta, bulat telur
Delta, bulat telur
Pertulangan daun
:
Menyirip
Menyirip
Menyirip
Warna daun
:
Hijau
Hijau
Hijau keunguan
Panjang daun (cm)
:
6.47-7.52
6.23-6.75
6.30-6.45
Lebar daun (cm)
:
5.22-6.39
5.16-6.36
4.88-6.26
Tebal daun (mm)
:
0.31-0.78
0.31-0.81
0.30-4.25
Panjang tangkai daun (cm)
:
2.67-4.13
2.66-4.28
2.71-3.34
Jumlah daun/cabang primer
:
35.37-157.84
48.05-118.62
58.07-130.43
Ujung daun
:
Runcing
Runcing
Runcing
Pangkal daun
:
Rata, membulat
Datar, membulat
Rata, membulat
Tepi daun
:
Bergerigi ganda
Bergerigi ganda
Bergerigi ganda
Bulu daun
:
Banyak, lembut
Banyak, lembut
Banyak, lembut
Produksi terna segar (ton/ha)
:
19.70-110.00
19.58-59.20
13.66-108.10
Produksi minyak (kg/ha)
:
111.50-622.26
125.83-380.06
78.90-624.89
Kadar minyak (%)
:
2.07-3.87
2.00-4.14
2.23-4.23
Kadar patchouli alkohol (%)
:
28.69-35.90
29.11-34.46
30.21-35.20
Ketahanan terhadap




Meloidogyne incognita

:
Sangat rentan
Rentan
Agak rentan

Pratylenchus bracyurus

:
Sangat rentan
Agak rentan
Agak rentan

Radhopolus similis

:
Rentan
Rentan
Agak rentan

Ralstonia solanacearum

:
Rentan
Rentan
Toleran 

Usul nama

:
Tapak Tuan
Lhoksemawe
Sidikalang


Tabel 2. Analisis Usaha Tani

No.
Uraian
Vol. Hok
Biaya satuan (Rp)
Jumlah biaya (Rp)
I.
UPAH
Persiapan lahan & pemetakan
Persiapan bahan tanaman
Pengajiran, pembuatan lubang tanam dan saluran drainase
Pemberian pupuk kandang dan penutupan lubang tanam
Pengendalian hama dan penyakit
Pemupukan dan perbaikan saluran drainase
Pemeliharaan
Panen
Penanganan bahan

100
90
100
60
20
25
60
70
60

15
15
15
15
15
15
15
15
15

1 500
1 200
1 500
900
300
375
900
1 050
900

JUMLAH


8 625
II.
BAHAN
Pupuk oraganik
Pupuk anorganik
Bahan tanaman/setek
Pestisida
Sprayer
Bahan kimia
Bahan pembantu (bambu, polibag, plastik, meteran, pisau pangkas, ember, selang dll)

41 ton
50 kg
25 000
1 paket
2 unit
1 paket

1 paket

100
3
125
250
500
1 500

1 000

4 100
150
3 125
250
1 000
1 500

1 000

JUMLAH


10 075

TOTAL BIAYA I + II


18 700
III.
A) Hasil penjualan terna
     Hasil penjualan – biaya
     B/C rasio
 B) Biaya penyulingan
     Hasil penjualan minyak
     Hasil penjualan minyak-biaya budidaya-biaya  
     Penyulingan
     B/C ratio
12 000 kg


350 kg
350 kg

2,5


73
200
30 000
11 300
1.60
25 550
70 000

25 800
1.58



*) Makalah disampaikan pada Pelaksanaan Pembekalan Teknis untuk Rintisan Pengembangan Usaha Tani dan Fasilitasi Penumbuhan Kelompok Usaha Tani Tanaman Penghasil Minyak Atsiri TA. 2006 di Kabupaten Tanah Laut, tanggal 9 Agustus 2006.

1 komentar:

  1. Mudah-mudahan petani kita yang membudidayakan tanaman nilam bisa lebih sejahtera dan tidak terombang ambing oleh harga...

    BalasHapus