Sabtu, 25 Juni 2011

STANDAR PERALATAN UNTUK PENYULINGAN MINYAK ATSIRI

Meika Syahbana Rusli dan Semangat Ketaren

1.      Pendahuluan
Proses penyulingan dilakukan untuk memperoleh minyak atsiri dari tumbuh-tumbuhan yang mempunyai kandungan minyak yang sulit untuk diekstrak pada kondisi lingkungan normal. Hal ini dikarenakan minyak atsiri terdapat pada kantung-kantung minyak dalam jaringan tumbuhan sehingga diperlukan suatu usaha untuk mengeluarkannya.
Untuk memisahkan minyak atsiri dari tanaman aromatik, dalam prakteknya bahan tersebut dimasukkan ke dalam ketel penyuling, kemudian ditambahkan sejumlah air dan dididihkan, atau uap panas dipompakan ke dalam alat penyuling tersebut. Dengan pemanasan oleh air atau uap, minyak atsiri akan dibebaskan dari kelenjar minyak dalam jaringan tanaman. Alat penyuling, akan berisi dua macam cairan, yaitu air panas dan minyak atsiri yang tidak saling melarutkan atau hanya sebagian kecil saja melarut. Secara perlahan-lahan cairan dalam alat penyuling dididihkan sehingga campuran uap terdiri dari uap air dan uap minyak. Campuran uap tersebut mengalir melalui pipa menuju ke kondensor sehingga uap tersebut dicairkan kembali dengan system pendinginan dari luar, yaitu biasanya dengan air dingin. Dari kondensor, kondensat tersebut ditampung dalam tabung pemisah (receiver); dan dalam tabung tersebut minyak atsiri akan terpisah dari air suling.
Pada proses penyulingan terdapat faktor-faktor yang menentukan hasil penyulingan yaitu antara lain : jenis dan penanganan bahan baku yang akan disuling, jenis, distribusi dan debit uap yang digunakan, bahan penyusun ketel penyulingan, dimensi alat penyuling dan metode penyulingan yang digunakan. Dengan diketahuinya factor-faktor tersebut dapat ditentukan kondisi operasi suatu proses penyulingan yang tepat, efektif dan efisien.
 
2.      Bahan Konstruksi Peralatan Penyulingan
A. Stainless Steel
Dalam British Stainless steel Association Catalogue (2001) disebutkan bahwa Stainless merupakan suatu terminologi yang dikembangkan bagi bahan-bahan metal yang digunakan untuk membuat alat-alat pemotong seperti pisau dan gunting. Kemudian istilah Stainless digunakan sebagai nama dagang bagi besi yang tahan terhadap karat dan oksidasi. Stainless steel merupakan campuran logam dengan kandungan chromium minimal 10.5 persen. Beberapa campuran logam lainnya ditambahkan guna menambah kekuatan dan kekerasannya. Logam-logam tersebut antara lain : Nikel, Molybdenum, Titanium, Tembaga.
Jumlah kandungan dari logam-logam tersebut mempengaruhi kualitas dan grade dari Stainless steel. Selain bahan-bahan campuran yang berupa logam, Stainless steel juga ditambahkan campuran non logam yaitu karbon dan nitrogen. Stainless steel mempunyai kelebihan-kelebihan dibandingkan logam lain, yaitu (Welty, 1978) :
1. Tahan terhadap karat
2. Tahan terhadap api dan panas
3. Hygiene (mudah untuk dibersihkan)
4. Mempunyai penampakan menarik
5. Perbandingan kekuatan dan berat yang baik
6. Mudah untuk dibentuk atau dipabrikasi
7. Tahan terhadap tumbukan
8. Mempunyai nilai ekonomi yang tinggi
9. Mempunyai daya hantar panas yang tinggi 17.3 W/m K

B. Mild Steel
Mild Steel atau besi kasar kelabu memiliki kadar atom C lebih tinggi dari pada besi kasar putih yaitu 3.5 – 5 %. Besi kasar kelabu bersifat kenyal dan rapuh. Besi kasar kelabu dibedakan dua macam yaitu besi kasar kelabu muda dan besi kasar kelabu tua. Besi kasar kelabu muda sangat baik untuk bahan pembuatan silinder-silinder mesin, mengandung silikon 0.5 – 1 % dan permukaannya halus. Sedangkan besi kasar kelabu tua mengandung silikon 3 % sangat baik untuk membuat benda besi tuang, mempunyai sifat mudah dituang, tahan terhadap tekanan, dan permukaan agak kasar (Margono dan Setuji, 1980).

3. Sistem Penyulingan
Penyulingan adalah suatu proses pemisahan secara fisik suatu campuran dua atau lebih produk yang mempunyai titik didih yang berbeda, dengan cara mendidihkan terlebih dahulu komponen yang mempunyai titik didih rendah terpisah dari campuran (Kister, 1990).
Pada industri minyak atsiri dikenal tiga macam metode penyulingan, yaitu :
1. Penyulingan dengan air (water distillation)
2. Penyulingan dengan uap dan air (steam and water distillation)
3. Penyulingan dengan uap langsung (steam distillation)

Pada penyulingan dengan menggunakan air, bahan yang akan disuling kontak langsung dengan air mendidih. Bahan tersebut mengapung di atas air atau terendam secara sempurna tergantung dari bobot jenis dan jumlah bahan yang akan disuling. Ciri khas dari metode ini adalah kontak langsung antara bahan dengan air mendidih. Pada penyulingan dengan uap dan air serta penyulingan dengan uap, bahan diletakkan pada rak-rak atau saringan berlubang sehingga bahan tidak mengalami kontak langsung dengan air yang digunakan untuk menghasilkan uap. Perbedaannya pada penyulingan uap langsung, uap berasal boiler yang terpisah dari ketel, sedangkan pada penyulingan dengan uap dan air berasal dari air uap berasal dari air yang dididihkan di bawah rak-rak bahan (Guenther, 1947).

Alat-alat yang diperlukan untuk penyulingan tergantung pada banyaknya bahan dan cara penyulingan yang dilakukan. Secara umum peralatan yang digunakan dalam proses penyulingan dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu : ketel uap (boiler), ketel suling (retort), pendingin (condenser), penampung dan pemisah hasil penyulingan (separator). Skema susunan peralatan tersebut berikut dengan instrumen/perlengkapannya dapat dilihat pada Gambar 1.

4. Disain Peralatan Proses Penyulingan

1. Ketel Uap (Boiler)
Ketel uap adalah pembangkit uap dimana uap ini berfungsi sebagai zat pemindah tenaga kaloris. Melalui api dan gas asap kalor dipindahkan dari bahan bakar ke air dan uap melalui dinding bidang pemanas, kemudian uap dapat disalurkan ke pemakai sesuai dengan tujuan penggunaannya (Tambunan dan Karo-karo dalam Sunarto, 1992).

Terdapat dua jenis ketel uap, yaitu ketel uap bertekanan tinggi dan ketel uap rendah. Ketel uap bertekanan tinggi digunakan untuk menghasilkan suhu yang lebih tinggi. Uap bertekanan rendah dan bersuhu rendah akan terkondensasi kembali menjadi air pada tumpukan bahan, sedangkan uap yang bertekanan tinggi dan suhu tinggi akan berpenetrasi ke dalam bahan secara lebih efektif, dan peristiwa kondensasi dalam ketel penyulingan akan berkurang. Ketel uap bertekanan tinggi lebih efisien untuk penyulingan karena mempersingkat proses penyulingan. Dalam beberapa hal, dikehendaki uap bertekanan yang rendah sehingga minyak yang dihasilkan bersifat lebih larut dalam alkohol dan tidak mengandung resin (Guenther, 1947).

Ukuran ketel uap tergantung pada jumlah uap yang dibutuhkan, dan tidak sembarang ketel uap dapat digunakan. Karena bahaya yang mungkin timbul dalam ketel uap tersebut sebaiknya membelinya pada penyalur tertentu. Ketel uap harus dilengkapi dengan alat pengukur jumlah air dan tekanan, katup pengaman pada tekanan tinggi, pompa atau injektor untuk mensirkulasikan air, dan pipa-pipa yang dapat diawasi secara manual.

2. Ketel Suling (Retort)

Ketel suling digunakan sebagai tempat air atau uap untuk mengadakan kontak langsung dengan bahan, serta untuk menguapkan minyak atsiri. Pada bentuk sederhana ketel suling berbentuk silinder atau tangki, yang mempunyai diameter sama atau lebih kecil dari tinggi tangki. Tangki tersebut dilengkapi dengan tutup yang dapat dibuka dan diapitkan pada bagian atas penampang ketel. Pada atau dekat penampang atas tangki dipasang pipa berbentuk leher angsa untuk mengalirkan uap ke kondensor (Guenther, 1947)

Pada penyulingan dengan uap dan air dipasang suatu saringan (grid) atau dasar semu di atas dasar ketel suling sehingga air yang mendidih tidak kontak dengan bahan yang disuling. Uap air panas dialirkan melalui mantel uap atau melalui suatu pipa uap yang tertutup. Untuk bentuk sederhananya dapat dilakukan dengan cara pemanasan ketel secara langsung. Pada penyulingan dengan uap, kisi-kisi (grid) ditempatkan dekat ke dasar ketel. Uap dialirkan melalui suatu pipa uap, biasanya merupakan pipa melingkar yang berlubang atau melintang di bawah kisi-kisi (dasar semu) (Guenther, 1947).

Pada zaman dulu, ketel suling di dalam industri dibuat dari bahan tembaga. Logam ini mempunyai keuntungan karena tahan lama (awet) dan mempunyai mutu yang tidak berubah walaupun telah mengalami perombakan. Bagian dalam dari ketel suling dilapisi kaleng tebal, dan digunakan sebagai bahan untuk kondensor ataupun bagian leher angsa. Tetapi minyak atsiri yang dihasilkan mengandung tembaga; biasanya berwarna hijau kebiru-biruan dan harus dipucatkan terlebih dahulu sebelum diperdagangkan . Plat aluminium dapat digunakan sebagai bahan ketel suling dan minyak yang dihasilkan mempunyai kualitas baik, akan tetapi minyak yang mengandung gugusan fenol akan bereaksi dengan aluminium. Saat sekarang bahan penyusun ketel suling yang mempunyai kualitas terbaik terbuat dari stainless steel sehingga menghasilkan minyak atsiri yang bermutu baik.

Pada umumnya ketel termasuk bagian tutup, dilapisi dengan bahan isolasi yang berguna apabila bagian luar ketel kontak dengan udara dingin dan angin. Jika dinding luar ketel tidak diberi isolasi maka sebagian uap akan berkondensasi di dalam ketel akibat adanya panas yang hilang. Hal ini mengakibatkan bahan yang disuling menjadi lembab, partikel bahan akan menggumpal dan melekat sehingga jumlah uap yang dibutuhkan lebih banyak, penyulingan lebih lama dan biasanya menghasilkan rendemen (yield) minyak yang lebih rendah. Disain ketel untuk penyulingan dengan sistem uap-air dan sistem uap langsung dapat dilihat pada Gambar 2 dan 3.

3. Pendingin (Condenser)

Menurut McCabe et al., (1993), pendingin didefinisikan sebagai peralatan pindah panas yang digunakan untuk merubah fase uap menjadi fase cair dengan menghilangkan panas laten yang dimiliki oleh uap. Panas laten ini dihilangkan dengan mengabsorbsikannya pada cairan pendingin yang disebut coolant. Jumlah panas yang dikeluarkan pada peristiwa kondensasi sebanding dengan panas yang diperlukan untuk penguapan uap minyak dan uap minyak dan uap air serta sejumlah kecil panas tambahan dikeluarkan untuk mendinginkan hasil kondensasi, yang berguna untuk menjaga supaya suhunya di bawah titik didih.

Pendingin berfungsi untuk mengubah seluruh uap air dan uap minyak menjadi fase cair. Jumlah panas yang dikeluarkan pada peristiwa kondensasi sebanding dengan panas yang diperlukan untuk penguapan uap minyak dan uap air serta jumlah kecil panas tambahan dikeluarkan untuk mendinginkan hasil kondensasi, yang berguna untuk menjaga supaya suhunya di bawah titik didih (Guenther, 1947).

Kondensor yang paling umum digunakan adalah kondensor berpilin (coil condenser) yang dimasukkan ke dalam tangki berisi air dingin yang mengalir. Arah aliran air pendingin berlawanan dengan tangki berisi air dingin yang mengalir. Arah aliran air pendingin berlawanan dengan arah uap air dan uap minyak. Umumnya penggunaan air pendingin lebih efektif, dengan menyisipkan 2 pipa yang berpilin pada tiap tangki kondensor.

Dalam penanganan kondensor yang lebih baik maka aliran air dingin yang lebih cepat menyebabkan pendinginan lebih efisien. Tabung kondensor disusun di dalam sebuah kotak vertikal sedangkan jumlah dan ukuran panjangnya tergantung dari jumlah uap yang dikondensasikan dan dibuat sedemikian rupa sehingga uap yang akan dikondensasikan masuk ke dalam tabung, dan air pendingin bersirkulasi di sekeliling tabung tersebut.

Disain kondensor yang juga efektif adalah tipe shell and tube. Kondensor tipe ini, berupa sekumpulan tabung berbentuk pipa yang berada dalam sebuah silinder, biasanya dibuat dari tembaga yang dilapisi kaleng, aluminium atau yang lebih baik lagi menggunakan stainless steel sehingga perubahan warna minyak oleh besi dan tembaga dapat dihindarkan. Akan tetapi aluminium tidak dapat digunakan pada minyak yang mengandung fenol.

Ukuran, jumlah, dan panjang tabung (tube) kondensor tergantung pada : laju aliran destilat, tekanan yang dapat diterima kondensor, suhu dan kuantitas air pendingin yang tersedia, dan suhu keluaran destilat yang diinginkan (Denny, et al., 2001). Sketsa disain kondensor tipe shell and tube dapat dilihat pada Gambar 4.

4. Penampung dan Pemisah Hasil Penyulingan (Separator)

Alat ini digunakan untuk memisahkan minyak dari air suling. Jumlah volume air suling selalu lebih besar dari jumlah minyak, dalam hal ini diperlukan agar air suling tersebut terpisah secara otomatis dari minyak atsiri. Sebagian besar alat pemisah minyak dirancang dengan mengimitasi prinsip botol Florentine kuno.  Minyak atsiri dan air suling tidak melarut; karena perbedaan bobot jenis maka larutan tersebut akan terpisah dimana minyak tersebut berada di atas lapisan air, hal ini yang merupakan prinsip kerja dasar dari alat ini (Guenther, 1947).  

Sketsa disain alat pemisah untuk minyak yang berat jenisnya lebih kecil maupun lebih besar dari air dapat dilihat pada Gambar 5.  Minyak dan air secara langsung dapat dipisahkan dengan membuka kran pengatur pada bejana pemisah.

Referensi :
1.      BSA. 2001. British Stainless Steel Association Catalogue. www.BSA.co.uk
2.      Denny, et al. 2001. Field Distillation for Herbaceous Oils. McKenzie Associates. Tasmania
3.      Guenther, E. 1947. Minyak Atsiri. Diterjemahkan oleh Ketaren, S. 1988. UI Press. Jakarta.
4. Heartmagic. 2006. Essential Oil Steam Distillation Plant. Diakses dari www.heartmagic.com/00giantstill/85gallon.html
5.      Kister, H.Z. 1990. Distillation Operation. McGraw Hill.
6.      Margono dan Slamet. 1980. Mesin dan Instrumentasi I. Depdikbud.
7.      Sunarto, A. 1992. Uji Performansi Alat Penyulingan Minyak Atsiri dengan Menggunakan Metode Uap Langsung pada Penyulingan Biji Lada dan Daun Sereh Wangi. Skripsi. Fateta-IPB. Bogor.
8.      Welty, J. R. 1978. Engineering Heat Transfer SI Version. John Wiley and Sons. New York.

Minyak Nilam Bisnis Yang Menjanjikan


Nilam (Pogostemon cablin Benth) yang termasuk dalam keluarga Labiatea merupakan salah satu tanaman penghasil minyak atsiri yang penting bagi Indonesia, karena minyak yang dihasilkan merupakan komoditas ekspor yang cukup mendatangkan devisa negara. Sebagai komoditas ekspor minyak nilam mempunyai prospek yang baik, karena dibutuhkan secara kontinyu dalam industri kosmetik, parfum, sabun dan lain-lain.
Tanaman nilam dipercaya berasal dari negara Phillipina dan India. Di abad 19 nilam digunakan sebagai bahan baku wewangian di dunia timur.
Tanaman nilam atau bahasa latinnya Pogostemon cablin Benth, alias Pogostemon menthe sudah dikembangkan juga di Malaysia, Madagaskar, Paraguay, Brasil, dan Indonesia. Dikarenakan banyak ditanam di daerah Aceh, varietas ini banyak dibudidayakan secara komersial. Pogostemon Nilam jenis ini tidak berbunga, daun berbulu halus dengan kadar minyak 2,5-5,0%.
Gbr. Tanaman Nilam (Pogostemon Cablin) dan Minyak Nilam
Di Indonesia hingga kini terdapat tiga jenis nilam yaitu Pogostemon cablin Benth, Pogostemon heyneanus Benth, don Pogostemon hortensisBenth. Jenis Pogostemon heyneanus Benth dikenal dengan nama nilam Jawa, tanaman berbunga, daun tipis dan kadar minyak rendah, berkisar antara 0,5-1,5%. Pogostemonhortensis Benth mirip nilam Jawa tetapi juga tidak berbunga, dapat ditemukan di daerah Banten dan sering disebut sebagai nilam sabun.

Di pasaran minyak atsiri dunia, mutu minyak nilam Indonesia di kenal paling baik dan menguasai pangsa pasar 80 – 90%. Minyak nilam (patchouli oil) merupakan salah satu minyak atsiri yang banyak diperlukan untuk bahan industri parfum dan kosmetik, yang dihasilkan dari destilasi daun tanaman nilam (Pogostemon patchouli). Bahkan minyak nilam dapat pula di buat menjadi minyak rambut dan saus tembakau. Parfum yang dicampuri minyak yang komponen utamanya patchouli alcohol (C15H26) ini, aroma harumnya akan bertahan lebih lama.
Produksi minyak nilam banyak terdapat di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Daerah lain yang sedang mengembangkan komoditi ini di antaranya adalah Bengkulu, Lampung dan beberapa daerah di Jawa seperti Purwokerto, Madiun, Malang, Garut, Ciamis, Tasikmalaya. Lebih dari 80% minyak nilam Indonesia dihasilkan dari Daerah Istemewa Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat, yang sebagian besar produksinya di ekspor ke negara-negara industri.
Prospek ekspor komoditi ini pada masa yang akan datang juga masih cukup besar, seiring dengan semakin tingginya permintaan terhadap parfum/kosmetika, trend mode dan belum berkembangnya barang subsitusi essential oil yang bersifat pengikat (fiksasi) dalam industri parfum/kosmetika. Dapat dikatakan bahwa hingga saat ini belum ada produk apapun baik alami maupun sintetis yang dapat menggantikan minyak nilam dalam posisinya sebagai fiksasi.
Saat ini harga minyak nilam melambung tinggi dari sekitar 200.000/Kg saat ini dapat mencapai Rp. 1.200.000/Kg, hal ini disebabkan karena kelangkaan bahan baku. Sebelumnya para petani sempat mengganti tanaman atsiri dengan tanaman lain yang harga jualnya lebih tinggi. Selain itu, sejumlah petani di sentra-sentra produksi tanaman atsiri juga mengalami gagal panen karena tanaman mereka terserang hama.dan curah hujan yang cukup tinggi akhir-akhir ini.
Prospek ekspor yang cukup besar ini seharusnya mampu diiringi oleh pengembangan budidaya dan industri minyak nilam di dalam negeri. Usaha pengembangan ini akan lebih berdaya guna bila usaha kecil yang selama ini dikelola secara tradisional bermitra dengan usaha besar yang pada umumnya lebih mengusai pasar ekspor dan telah memiliki kemampuan teknologi budidaya dan industri minyak nilam. Kemitraan yang saling membutuhkan dan saling menguntungkan merupakan landasan utama bagi pengembangan komoditi ini.

BUDIDAYA TANAMAN NILAM (Pogostemon cablin Benth.)


Yang Nuryani
Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aromatik

Tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth.) merupakan salah satu tanaman penghasil minyak atsiri yang penting, menyumbang devisa lebih dari 50% dari total ekspor minyak atsiri Indonesia. Hampir seluruh pertanaman nilam di Indonesia merupakan pertanaman rakyat yang melibatkan 32.870 kepala keluarga petani (Ditjen Perkebunan, 2006).
Indonesia merupakan pemasok minyak nilam terbesar di pasaran dunia dengan kontribusi 70%. Ekspor minyak nilam pada tahun 2004 sebesar 2.074 ton dengan nilai US $ 27,136 juta (Ditjen Perkebunan, 2006) produksi nilam Indonesia sebesar 2.382 ton, sebagian besar produk minyak nilam diekspor untuk dipergunakan dalam industri parfum, kosmetik, antiseptik dan insektisida (Dummond, 1960 ; Robin, 1982, Mardiningsih et al., 1995). Dengan berkembangnya pengobatan dengan aromaterapi, penggunaan minyak nilam dalam aromaterapi sangat bermanfaat selain penyembuhan fisik juga mental dan emosional. Selain itu, minyak nilam bersifat fixatif (mengikat minyak atsiri lainnya) yang sampai sekarang belum ada produk substitusinya (Ibnusantoso, 2000).
Di Indonesia daerah sentra produksi nilam terdapat di Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Riau dan Nanggroe Aceh Darussalam, kemudian berkembang di provinsi Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalteng dan daerah lainnya. Luas areal pertanaman nilam pada tahun 2004 sekitar 16.639 ha, namun produktivitas minyaknya masih rendah rata-rata 198,72 kg/ha/tahun (Ditjen Perkebunan, 2006). Dari hasil pengujian di berbagai lokasi pertanaman petani, kadar minyak berkisar antara 1-2% dari terna kering (Rusli et al .,1993).

         Rendahnya produktivitas dan mutu minyak antara lain disebabkan rendahnya mutu genetik tanaman, teknologi budidaya yang masih sederhana, berkembangnya berbagai penyakit, serta teknik panen dan pasca panen yang belum tepat.
         Penyakit yang dapat menyebabkan kerugian besar pada pertanaman nilam adalah penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum (Nasrun et al., 2004), penyakit budog yang diduga disebabkan oleh virus (Sitepu dan Asman, 1991) dan penyakit yang disebabkan oleh nematoda (Djiwanti dan Momota, 1991 ; Mustika et al., 1991). Nematoda dapat merusak fungsi akar, merubah proses fisiologi tanaman serta mengurangi efisiensi fotosintesa sehingga pertumbuhan tanaman terhambat, produktivitas dan mutu  rendah (Evans, 1982 ; Melakeberhan et al., 1990). Serangan nematoda (Pratylenchus brachyurus) pada tanaman nilam dapat mengurangi berat bagian atas tanaman (batang, daun, ranting) sampai 72% (Mustika dan Rostiana, 1992 ; Nuryani et al., 1999).
         Penyakit layu bakteri menyebabkan kerugian sebesar 60-95% pada pertanaman nilam di Sumatera (Sitepu dan Asman, 1991). Dewasa ini penyakit tersebut sudah ditemukan pula di pertanaman nilam di Jawa Barat, Jawa Tengah dan daerah lainnya, namun persentase serangan tidak sebesar di Sumatera.
         Tanaman nilam yang umum dibudidayakan adalah nilam Aceh, karena kadar minyak (> 2%) dan kualitas minyaknya (PA > 30%) lebih tinggi dari pada nilam Jawa (kadar minyak  < 2%) (Nuryani dan Hadipoentyanti, 1994). Nilam Aceh tidak berbunga, perbanyakannya dilakukan secara vegetatif (setek), sehingga keragaman genetiknya rendah. Peningkatan keragaman genetik secara alami diharapkan hanya dari mutasi alami yang frekuensinya biasanya rendah (Simmonds, 1982). Keterbatasan sumber genetik merupakan salah satu faktor penentu dalam pemuliaan tanaman nilam. Untuk meningkatkan keragaman genetik pada tahap awal dilakukan pengumpulan plasma nutfah nilam dari berbagai daerah terutama dari sentra-sentra produksi.
         Dari hasil eksplorasi telah terkumpul 28 nomor yang kadar minyaknya bervariasi antara 1,60-3,59% (Nuryani et al., 1997). Hasil seleksi dari nomor-nomor tersebut, diperoleh 4 nomor harapan yang produktivitas, kadar dan mutu minyaknya relatif tinggi, yaitu nomor 0003, 0007, 0012 dan 0013. Keempat nomor tersebut telah diuji multilokasi di Ciamis, Cimanggu dan Sukamulya. Dari hasil uji multilokasi diperoleh 3 varietas unggul baik produksi terna maupun kadar dan mutu minyaknya, ketiga varietas tersebut adalah : Tapak Tuan, Lhokseumawe dan Sidikalang (Nuryani et al., 1994).
         Penggunaan varietas nilam yang tepat, disertai teknik budidaya yang baik, panen dan pengolahan bahan yang sesuai akan menghasilkan produksi minyak tinggi.

 


PENGENALAN VARIETAS

         Nilam (Pogostemon sp.) termasuk famili Labiateae, ordo Lamiales, klas Angiospermae dan devisi Spermatophyta. Di indonesia terdapat tiga jenis nilam yang dapat dibedakan antara lain dari karakter morfologi, kandungan dan kualitas minyak dan ketahanan terhadap cekaman biotik dan abiotik. Ketiga jenis nilam tersebut adalah: 1) P. cablin Benth. Syn. P. patchouli Pellet var. Suavis Hook disebut nilam Aceh, 2) P. heyneanus Benth disebut nilam jawa dan 3) P. hortensis Becker disebut nilam sabun (Guenther, 1952). Diantara ketiga jenis nilam tersebut, nilam Aceh  dan nilam sabun tidak berbunga. Yang paling luas penyebarannya dan banyak dibudidayakan yaitu nilam Aceh, karena kadar minyak dan kualitas minyaknya lebih tinggi dari kedua jenis yang lainnya.
         Nilam Aceh merupakan tanaman introduksi, diperkirakan daerah asalnya Filipina atau semenanjung Malaysia, masuk ke Indonesia lebih dari seabad yang lalu. Setelah sekian lama berkembang di indonesia, tidak tertutup kemungkinan terjadi perubahan-perubahan dari sifat-sifat asalnya. Dari hasil ekplorasi ditemukan ber macam-macam tipe yang berbeda baik karakter morfologinya, kandungan minyak, sifat fisika kimia minyak dan sifat ketahanannya terhadap  penyakit dan kekeringan. Nilam Aceh berkadar minyak tinggi  (> 2,5%) sedangkan nilam Jawa rendah (< 2%).
         Disamping nilam Aceh, di beberapa daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur petani mengusahakan juga nilam Jawa. Nilam Jawa berasal dari India, disebut juga nilam kembang karena dapat berbunga. Ciri-ciri spesifik yang dapat membedakan nilam Jawa dan nilam Aceh secara visual yaitu pada daunnya. Permukaan daun nilam Aceh halus sedangkan nilam Jawa kasar. Tepi daun nilam Aceh bergerigi tumpul, pada nilam Jawa bergerigi runcing, ujung daun nilam Aceh runcing, nilam Jawa meruncing. Nilam jawa lebih toleran terhadap nematoda dan penyakit layu bakteri dibandingkan nilam Aceh (Nuryani et al., 1997), karena antara lain disebabkan kandungan fenol dan ligninnya lebih tinggi dari pada nilam Aceh (Nurliani et al., 2001).

Varietas unggul nilam

         Tanaman nilam adalah tanaman penghasil minyak atsiri, oleh sebab itu produksi, kadar dan mutu minyak merupakan faktor penting yang dapat dipergunakan untuk menentukan keunggulan suatu varietas. Disamping  itu, karakter lainnya seperti sifat ketahanan terhadap penyakit juga merupakan salah satu indikator penentu. Banyak faktor yang mempengaruhi kadar dan mutu minyak nilam, antara lain, genetik (jenis), budidaya, lingkungan, panen dan pasca panen.

Produksi minyak
         Rata-rata produksi minyak nilam Indonesia masih sangat rendah yaitu 97.53 kg/ha (th. 2002), rendahnya produksi minyak disebabkan rendahnya produksi terna (4-5 ton/ha terna kering) dan kadar minyak (1-2%) yang rendah pula. Pada umumnya petani menanam jenis nilam yang kurang jelas asalnya atau disebut jenis lokal, di lokasi-lokasi tertentu seperti Ciamis, jenis lokal lebih unggul dari beberapa varietas yang dilepas, namun dilokasi lainnya keunggulannya tidak tampak sehingga jenis lokal Ciamis dapat dianggap unggul lokal.
         Balittro telah mengoleksi 28 nomor nilam, dari hasil seleksi terhadap beberapa nomor nilam, telah dilepas (2005) 3 varietas unggul yaitu Tapak Tuan, Lhoksemawe dan Sidikalang. Penamaan ketiga varietas nilam tersebut berdasarkan nama daerah asalnya. Ketiga varietas mempunyai keunggulan masing-masing. Tapak Tuan unggul dalam produksi dan kadar patchouli alkohol. Lhoksemawe kadar minyaknya tinggi sedangkan Sidikalang toleran terhadap penyakit layu bakteri dan nematoda (Tabel 1).

Tabel 1. Produksi terna kering, kadar minyak, produksi minyak dan kadar patchouli alkohol 3 varietas nilam.

Varietas
Produksi terna kering (ton/ha)
Kadar minyak (%)
Produksi minyak (kg/ha)
Kadar Patchouli alkohol (%)
Tapak Tuan
Lhokseumawe
Sidikalang
13.278
11.087
10.902
2.83
3.21
2.89
375.76
355.89
315.06
33.31
32.63
32.95

            Disamping karakter kwantitatif, karakter kualitatif yang dapat membedakan ketiga varietas tersebut adalah warna pangkal batang. Varietas Tapak Tuan, warna pangkal batangnya hijau dengan sedikit ungu, varietas Lhokseumawe lebih ungu dan varietas Sidikalang paling ungu (Gambar 1) deskripsi varietas dapat dilihat pada       tabel 3.

Kadar dan mutu minyak
         Diantara ketiga varietas unggul tersebut, kadar minyak tertinggi terdapat pada var. Lhokseumawe (3,21%), namun karena produksi ternanya lebih rendah dari pada produksi terna Tapak Tuan, oleh karena itu produksi minyaknyapun lebih rendah (355,89 kg/ha). (Tabel 1).
Mutu minyak ditentukan oleh sifat fisika-kimia minyaknya, faktor yang paling menentukan mutu minyak nilam adalah kadar patchouli alkohol (PA). PA merupakan komponen terbesar (50-60%) dari minyak (Walker, 1969) dan memberikan bau (odour) yang khas pada minyak nilam, karena antara lain mengandung nor-patchoulene(Trifilief, 1980). Pada ketiga varietas nilam unggul, kadar PAnya > 30%, merupakan syarat minimum untuk diekspor, kadar PA yang tertinggi pada Tapak Tuan (33,31%) (Tabel 1).
            Hasil analisis mutu minyak ketiga varietas, semuanya telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Standar Nasional Indonesia (SNI) (Tabel 2).


Tabel 2. Karakteristik mutu minyak 3 varietas nilam
Varietas
Warna
Berat jenis (250C)
Indek bias
(250C)
Putaran optik
Kelarutan dalam alkohol (90%)
Bilangan asam

(%)
Bilangan ester

(%
Tapak Tuan Lhokseumawe Sidikalang
Kuning muda
Kuning muda
Kuning muda
0.9722
0.9679
0.9651
1.5066
1.5070
1.5068
-55012’
-52024’
-52012’
1 : 1
1 : 1
1 : 6
0.76
0.74
0.57
2.47
3.96
3.83


TEKNIK BUDIDAYA
Apabila belum tersedia varietas unggul nasional (Tapak Tuan, Lhokseumawe, Sidikalang), atau varietas unggul lokal yang sudah mendapat rekomendasi dari dinas pertanian tingkat 1, untuk memenuhi kebutuhan benih dalam jumlah yang besar, sebaiknya dibuat kebun perbanyakan. Luas kebun disesuaikan dengan jumlah kebutuhan benih (luasan daerah pengembangan).
Kebun perbanyakan adalah suatu kebun yang terdiri atas satu atau beberapa varietas unggul, dengan tujuan memperbanyak benih/bahan tanaman untuk memenuhi kebutuhan konsumen atau pengguna. Varietas yang ditanam berasal dari kebun induk. Lokasi kebun perbanyakan sebaiknya berada di dekat lokasi pengembangan agar memudahkan pengiriman benih, Persayaratan dalam mendirikan kebun perbanyakan hampir sama dengan persyaratan mendirikan kebun induk, hanya jarak tanam dapat dipersempit yaitu antar barisan 80 cm dan dalam barisan 40 cm.

Penentuan Lokasi
         Kebun perbanyakan hendaknya terletak pada lokasi yang mudah dicapai, tidak tercemar hama dan penyakit, mudah dijangkau untuk penyediaan sarana (pupuk dll), pengangkutan bahan tanaman atau benih. Untuk efisiensi dalam pengiriman bahan tanaman sebaiknya lokasi kebun perbanyakan tidak terlalu jauh dari daerah pengembangan. Disamping itu faktor yang terpenting adalah tersedianya sumber air yang mencukupi di lokasi kebun untuk kegiatan pembibitan, penanggulangan hama dan penyakit dan sebagainya.

Syarat tumbuh

         Tanaman nilam tumbuh dan berproduksi dengan baik dari 0-700 m dpl. (Rosman etr al., 1998). Didataran tinggi nilam dapat tumbuh dengan baik namun kadar minyaknya lebih rendah (< 2%) dibandingkan yang tumbuh didataran rendah (> 2%). Sebaliknya pada dataran tinggi kadar patchouli alkohol (PA) akan lebih tinggi dibandingkan didataran rendah. PA merupakan faktor terpenting dalam menentukan mutu minyak nilam. Nilam menghendaki intensitas matahari 75-100%, tanaman yang kurang mendapat cahaya matahari (ternaungi), kadar minyaknya akan rendah.
         Nilam dapat tumbuh diberbagai jenis tanah (andosol, latosol, regosol, padsolik, kambisol) akan tetapi akan tumbuh lebih baik pada tanah yang gembur dan banyak mengandung humus, bertekstur lempung sampai liat berpasir, pH 5,5-7. Kemiringan tanah sebaiknya kurang dari 15o. Iklim yang dikehendaki adalah iklim sedang dengan curah hujan rata-rata 3000 mm /tahun dan penyebarannya merata sepanjang tahun. Nilam sangat peka terhadap kekeringan, kemarau panjang setelah pemangkasan / panen dapat menyebabkan tanaman mati. Suhu yang dikehendaki sekitar 24-28oC dengan kelembaban relatif 70-90%. Lahan harus bebas dari penyakit terutama penyakit layu bakteri, budog dan nematoda.

·         Persiapan Bahan Tanaman dan Persemaian

Pemilihan varietas
Untuk memperoleh produksi minyak yang tinggi, pilih varietas unggul, yang produksi/kadar dan mutu minyak tinggi yaitu : Tapak Tuan, Lhokseumawe dan Sidikalang. Sel-sel minyak terutama terdapat pada daun (Guenther, 1952), oleh karena itu, produksi (terna) tinggi akan menghasilkan produksi minyak tinggi pula, apabila varietas tersebut mengandung kadar minyak yang tinggi.

Persiapan rumah atap, media semai dan sungkup :
-          Pilih areal yang sehat/tidak tercemar jamur patogen, dekat sumber air.
-          Buat rumah atap setinggi 2 m yang condong kearah Timur. Bentuk dan luasan disesuaikan dengan kebutuhan. Siapkan campuran tanah dengan pupuk kandang dengan perbandingan 2:1 (v/v).
-          Polibag (yang berlubang) dengan ukuran 15 x 10 cm diisi dengan media yang telah disiapkan dan diletakkan secara teratur di bawah rumah atap, kemudian disiram dengan menggunakan emprat.
-          Untuk mempertahankan kelembaban agar setek tidak layu setelah ditanam perlu diberi sungkup dari plastik. Kerangka sungkup dibuat dari bambu dengan ukuran lebar 1 m, tinggi ½ m dan panjang sesuai kebutuhan.



Perbanyakan bahan tanaman dan penyemaian
Setek nilam sebaiknya disemai terlebih dahulu karena apabila langsung ditanam di lapangan, banyak yang mati.
-          Perbanyakan tanaman nilam secara vegetatif dengan menggunakan setek. Setek yang paling baik adalah setek pucuk mengandung 4-5 buku selain itu setek juga dapat diambil dari cabang dan batang. Untuk mengurangi penguapan, daun tua dibuang, sisakan 1-2 pasang daun muda/pucuk.
-          Waktu mempersiapkan setek sebaiknya setek direndamkan dalam air sebelum disemai dipolibag.
-          Penyemaian dilakukan dengan cara membenamkan satu buku ke dalam media semai dengan terlebih dahulu membuang daun pada buku yang akan dibenamkan. Kemudian tanah disekeliling tanaman dipadatkan.
-          Untuk penanaman langsung di lapangan, setek diambil dari cabang yang sudah tua (mengayu), dipotong sepanjang ± 30 cm.
Kebutuhan tanaman untuk satu hektar ± 20.000 tanaman, untuk penyulaman tanaman yang mati, persiapan bahan tanaman sebaiknya dilebihkan.

Pemeliharaan di persemaian
         Untuk menjaga kelembaban, setek yang baru disemai perlu disiram. Penyiraman dilakukan setelah penyemaian, kemudian disungkup dengan sungkup plastik. Penyiraman selanjutnya setelah 2-3 hari kemudian. Selama di dalam sungkup, penyiraman tidak perlu dilakukan setiap hari. Sungkup dibuka setelah tanaman berumur 2 minggu. Pemberian pupuk melalui daun dan penaggulangan hama/penyakit (kalau diperlukan) dilakukan satu kali seminggu. Benih siap tanam setelah 1.5 bulan dipersemaian

·         Persiapan Lahan dan Penanaman

Persiapan lahan dan lubang tanam
-          Tanah dicangkul, dibersihkan dari gulma (alang-alang dsb), kemudian digaru dan diratakan.
-          Lubang tanam dibuat dengan ukuran 30 cm x 30 cm x 30 cm, dengan jarak tanam antara barisan 90 cm-100 cm dan jarak tanam dalam barisan 40 cm-50 cm. Jarak tanam disesuaikan dengan kondisi lahan. Pada lahan datar, jarak tanam dalam barisan lebih besar (100 cm x 50 cm) sedangkan pada lahan yang agak miring (± 150) jarak tanam dalam barisan lebih sempit (40 cm) dan arah baris menurut kontur tanah. Pada lokasi dengan kesuburan yang tinggi (banyak humus) jarak tanam sebaiknya 100 cm x 100 cm, karena pada umur 5-6 bulan, kanopi sudah bertemu.

Pembuatan saluran drainase
            Tanaman nilam tidak menghendaki adanya air yang tergenang, untuk itu perlu dibuat saluran drainase. Saluran drainase dibuat sekeliling dan didalam kebun kebun (atau sesuai kebutuhan) dengan ukuran 30 cm x 30 cm (lebar x dalam).

Penanaman dan penyulaman
            Setelah tanaman berumur ± 1 ½ bulan dipersemaian, tanaman dapat dipindahkan kelapangan. Cara menanam yaitu dengan meyobek polibag secara hati-hati dan menanam tanaman di lubang yang telah disediakan, kemudian tanah dipadatkan dengan cara menekan tanah disekitar tanaman.
            Setek yang langsung di tanam di lapangan adalah setek yang telah berkayu ± 30 cm, dibenamkan 2 buku kedalam tanah. Penanaman langsung kelapangan berisiko tanaman banyak yang mati. Tanaman yang mati disulam dengan tanaman baru, untuk itu persiapan bahan tanaman harus mencukupi.

 

·         Pemeliharaan

Pemupukan
            Disamping pupuk dasar yang diberikan pada waktu tanam berupa pupuk organik (pupuk kandang, kompos dll) 1-2 kg/lubang tanam, untuk memacu pertumbuhan tanaman perlu diberi pupuk anorganik. Dosis dan komposisi pupuk yang diberikan tergantung dari jenis tanah dan tingkat kesuburannya. Penelitian pemupukan  dengan dosis 280 kg N + 70 TSP + 140 kg KCl per hektar, pada tanah ultisol menghasilkan  10-13 ton terna kering per ha/tahun (Nuryani et al., 2005). Pemupukan I dilakukan pada umur 1 bulan, dengan dosis 1/3 N + P + K, pemupukan II pada umur 3 bulan dengan dosis 2/3 N. Pemupukan selanjutnya pada umur 6 bulan (setelah panen I) dan 10 bulan (setelah panen II) dipupuk dengan dosis ½ N + ½ P + ½ K  + 2 kg pupuk kandang.

Pemberian mulsa / penutup tanah
Tanaman nilam tidak tahan kekeringan, terutama setelah dilakukan pemangkasan (panen). Kemarau panjang dapat menyebabkan kematian tanaman. Untuk menjaga kelembaban tanah dan mengurangi penguapan, tanaman diberi mulsa berupa semak belukar atau alang-alang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mulsa semak belukar lebih baik dibandingkan alang-alang karena pelapukan lebih cepat terjadi, sehingga dapat menambah bahan organik (Tasma dan Wahid, 1988).


Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman
Penyakit pada tanaman nilam
A. Penyakit layu bakteri
Penyakit layu bakteri disebabkan oleh bakteri Ralstonia solanacearum (Nasrun et al., 2003), merupakan salah satu penyakit yang menyebabkan kerugian cukup besar bagi petani nilam. Gejala serangan yang ditimbulkan berupa kelayunan pada tanaman muda maupun tua, dan dalam waktu singkat menimbulkan kematian tanaman(Sitepu dan Asman, 1998). Penyakit ini menyebabkan kerugian sebesar 60-95% pada pertanaman nilam di Sumatera (Asman et al., 1998). Selain di Sumatera (Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bengkulu), ditemukan juga pada pertanaman nilam di Jawa Barat, Jawa Tengah. Untuk menanggulangi penyakit tersebut telah dilakukan berbagai upaya antara lain secara kimiawi namun belum memberikan yang memuaskan.
Dari hasil pengamatan baik rumah kaca (pembibitan) maupun di lapangan. Diantara ketiga varietas yang telah dilepas, varietas Sidikalang lebih toleran dibandingkan varietas lainnya (Tabel 3).


Tabel. 3 Persentase tanaman mati

Varietas
Persentase tanaman mati (%)
Sidikalang
Tapak Tuan
Lhokseumawe
6.0 a
19.2 b
39.0 c
Nuryani et al., 2005

Ketahanan nilam terhadap penyakit layu bakteri kemungkinan disebabkan adanya kandungan kimia yang dihasilkan oleh tanaman tersebut seperti fenol dan lignin . sebagai contoh pada tanaman tomat terdapat enzym-enzym pectic, cellulolytie (Prior et al., 1994), pada tanaman tembakau ditemui kandungan polyphenoloxidase dan phytoalexin (Akiew dan Trevorrow, 1994).
Penyakit layu bakteri dapat menulari tanaman nilam dari tanaman inang yang sudah ada pada lahan sebelum ditanami nilam, atau dari bibit yang telah mengandung penyakit. Untuk mencegah tertularnya tanaman, sebaiknya sebelum tanam terlebih dahulu diperhatikan tanaman apa saja yang telah ada dilahan yang akan ditanami dan yang lebih penting yaitu hindari pengambilan setek dari tanaman yang telah tertular penyakit.
Cara yang paling efektif untuk menekan kerugian karena berkurangnya produksi yang disebabkan oleh serangan penyakit layu bakteri adalah menanam varietas yang tahan. Berhubung sampai sekarang belum diperoleh varietas nilam yang tahan, penanggulangannya dapat dilakukan dengan memadukan komponen varietas, agen hayati dan budidaya (Supriadi et al., 2000). Agen hayati antara lain : Pseudomonas flurescens, dapat menekan perkembangan penyakit pada tanaman nilam hingga 68,75% (Nasrun, 1996), P. cepasia dan Bacillus sp., dapat menekan perkembangan penyakit dan meningkatkan produksi jahe besar (Mulya, 2000).
         Untuk mencegah penularan penyakit, benih yang akan ditanam harus bebas dari penyakit. Gejala penyakit layu bakteri yaitu tanaman layu, jadi setek jangan diambil dari tanaman yang telah layu.

B. Penyakit yang disebabkan oleh nematoda

         Nematoda menyerang akar tanaman nilam, kerusakan akar menyebabkan berkurangnya suplai air ke daun, sehingga stomata menutup, akibatnya laju fotosintesa menurun (Wallace, 1987). Beberapa jenis nematoda yang menyerang tanaman nilam antara lain Pratylenchus brachyurus, Meloidogyne incognita,  Radhopolus similis (Djiwanti dan Momota, 1991 ; Mustika et al., 1991).
         Salah satu mekanisme ketahanan nilam terhadap nematoda adalah adanya kandungan fenol dan lignin (Fogain dan Gowen, 1996 ; Valette et al., 1998). Senyawa fenol dan lignin merupakan proteksi alami dari tanaman terhadap factor biotic (Nelson, 1981). Salah satu varietas nilam Aceh yang lebih toleran terhadap nematoda dibandingkan varietas lainnya adalah varietas Sidikalang, kandungan fenolnya (81.45 ppm) lebih tinggi dari pada nilam Jawa (76.45 ppm) (Nuryani et al., 2001).  Nilam Jawa termasuk nilam yang tahan terhadap nematoda.
         Penanggulangan serangan nematoda, selain dengan varietas yang tahan/toleran, juga dengan agen hayati (Pasteuria penetrans, Arthrobotrys sp., jamur penjerat nematoda, pestisida nabati (serbuk biji nimba, bungkil jarak), nematisida dan budidaya (pupuk organik dll) (Mustika dan Nazarudin, 1998).
         Salah satu cara untuk mencegah penularan nematoda yaitu dengan menanam benih yang bebas dari nematoda. Gejala serangan nematoda terutama nampak pada warna daun yang berubah menjadi kecoklatan atau kemerahan. Disamping itu perlu diperhatikan tanaman inang yang telah ada dilokasi sebelum dipergunakan untuk menanam nilam. Tanaman inang bagi nematoda antara lain : pisang, jahe, tomat, kacang tanah dll.

C. Penyakit budog
         Penyakit budog diperkirakan disebabkan oleh virus (Sitepu dan Asman, 1992). Penyakit ini ditemukan dipertanaman nilam di Aceh dan Sumatera Barat, sejauh ini belum ditemukan di Jawa dan daerah lainnya. Gejala penyakit terlihat pada batang yang membengkak, menebal dan daun yang berkerut dan tebal, dengan permukaan bawah berwarna merah, permukaan atas daun menguning karena kekurangan unsur hara.
         Sampai saat ini belum ditemukan bahan kimia yang efektif untuk mengendalikan penyakit budog dan belum ada varietas nilam yang tahan terhadap penyakit ini. Diduga penyebaran penyakit oleh serangga, oleh karena itu tindakan budidaya perlu diperhatikan antara lain penyemprotan dengan insektisida untuk mematikan serangga/vektor, pergiliran tanaman, sanitasi kebun dan yang terpenting adalah menggunakan benih sehat. Tanaman yang sudah terserang penyakit tidak boleh diambil seteknya untuk perbanyakan.

Hama pada tanaman nilam

Hama yang menyerang tanaman nilam antara lain; belalang, kutu daun tungau dan ulat daun. Belalang dan ulat daun dapat menyebabkan tanaman gundul sehingga menurunkan produksi (terna). Serangan kutu daun dan tungau dapat menyebabkan daun menggulung dan berkeriput (keriting), sehingga sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Serangan hama dapat menyebabkan produksi menurun terutama karena pada umumnya bagian tanaman yang banyak diserang adalah daun.
Pengendalian hama pada tanaman nilam sebaiknya tidak menggunakan bahan kimia, karena walaupun minyak nilam tidak dikonsumsi, namun penggunaannya sebagai parfum, lation terutama pada aromaterapi secara langsung bersentuhan dengan kulit dan penciuman. Untuk itu dianjurkan menggunakan pestisida nabati seperti ekstrak biji nimba (100 g/l) (Trisilawati dan Siswanto, 1994) atau dengan agen hayati seperti Beauveria bassiana untuk ulat pemakan daun dan Metarrhizium anisopliae untuk belalang (Soetopo et al., 1998).

Pembumbunan
            Agar tanah tetap gembur dan merangsang pertumbuhan akar pada cabang-cabang dekat permukaan tanah, perlu dilakukan pembumbunan. Umumnya pembumbunan dilakukan pada umur 3 bulan dan setelah pemangkasan/panen.

Panen dan penyiapan bahan tanaman
         Pada kebun perbanyakan, panen stek pertama dilakukan pada umur 3-4 bulan, yaitu dengan memangkas cabang/batang setinggi 30 cm diatas permukaan tanah dengan menyisakan 1-2 cabang.
         Stek-stek yang baru dipangkas segera dibawa ketempat penyiapan benih, yaitu pondok atau tempat yeng teduh disekitar kebun perbanyakan dimana telah disediakan peralatan yang dibutuhkan untuk pengepakan. Stek-stek dibasahi dengan air kemudian diseleksi, untuk setek pucuk, terdiri dari 4-5 buku, daun tua pada buku-buku dibuang, kecuali 1-2 pasang daun pada pucuk, untuk setek batang / cabang, semua daun dibuang, untuk setek panjang yang akan ditanam langsung kelapangan panjang setek ± 30 cm dan sudah mengayu.
         Dari satu pohon dapat diperoleh 15-25 setek panjang yang dapat menjadi 30-50 setek pendek untuk disemai di polybag.
Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah :
·         Pilih stek yang cukup besar atau kekar
·         Stek yang baik adalah yang tidak bengkok
·         Stek tampak sehat tanpa gejala kekurangan hara atau tanda-tanda serangan penyakit dan hama.
·         Stek-stek yang tepilih kemudian dicelupkan ke dalam larutan fungisida 0,2 %
            Dalam 1 ha dibutuhkan 20 ribu benih. 1 ha kebun perbanyakan dapat memenuhi kebutuhan 30-40 ha per tanaman. Dalam 1 tahun dari 1 ha kebun perbanyakan dapat memproduksi benih untuk perluasan 80-100 ha.

Pergiliran Tanaman
            Pergiliran tanaman nilam dilakukan setiap selesai siklus pertanaman nilam (± 3 tahun), yaitu dengan menggunakan tanaman-tanaman yang sesuai dan berfungsi ganda, selain berfungsi memotong siklus hama dan penyakit juga dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Tanaman yang dapat dipergunakan untuk pergiliran antara lain legum, palawija setelah itu kembali ditanami nilam.

Polatanam Tanaman Nilam
            Umumnya tanaman nilam diusahakan secara monokuler, namun dapat juga ditanam secara tumpangsari dengan tanaman lain, seperti dengan tanaman palawija (jagung, cabe, terung dan lainnya). Selain dengan tanaman palawija, nilam dapat dipolatanamkan dengan tanaman tahunan seperti kelapa, kelapa sawit, karet yang masih berumur muda, karena tanaman nilam masih berproduksi dengan baik pada intensitas cahaya ± 75%. Polatanam ini akan memberikan keuntungan antara lain, menekan biaya operasional terutama biaya pemeliharaan, mengurangi risiko terjadi penurunan harga, kegagalan panen akibat serangan hama/penyakit, curah hujan yang sangat tinggi atau kekeringan dan meningkatkan produktivitas tanah oleh hasil tanaman sela. Selain itu bila limbah padat nilam hasil penyulingan dikembalikan ke lahan, dimana limbah padat ini masih mempunyai aroma dan bau khas, maka limbah ini akan berfungsi sebagai penolak serangga, sehingga tanaman selanya terhindar dari serangan hama. Disamping itu limbah ini dapat berfungsi sebagai bahan organik yang dapat menyuburkan tanam.  Dari hasil penelitian pola tanam, menunjukkan bahwa nilam dapat dipolatanamkan dengan jagung atau nilam + kacang tanah, nilam + kedele, nilam + kacang hijau, nilam + jagung + kacang tanah.
            Pada prinsipnya hampir semua tanaman dapat ditumpang sarikan dengan nilam asal : 1) tidak menimbulkan persaingan dalam hal penyerapan unsur hara, air dan cahaya matahari 2) tidak merupakan sumber hama/penyakit bagi tanaman nilam, sebaiknya yang saling menguntungkan. Oleh sebab itu waktu dan jarak tanaman antara sesama tanaman pokok dan antara tanaman pokok dengan tanaman sela harus diperhitungkan dengan cermat.
           
Panen dan Penanganan Pascapanen
            Panen pertama dilakukan saat umur tanaman 6 bulan dan panen berikutnya dilakukan setiap 4 bulan sampai tanaman berumur tiga tahun. Panen sebaiknya dilakukan pada pagi atau menjelang malam hari agar kandungan minyaknya tetap tinggi. Bila pemetikan dilakukan siang hari, sel-sel daun sedang berfotosintesa sehingga laju pembentukan minyak berkurang, daun kurang elastis dan mudah robek. Kandungan minyak tertinggi terdapat pada 3 pasang daun termuda yang masih berwarna hijau. Alat untuk panen bisa dipergunakan sabit dengan cara memangkas tanaman pada ketinggian ± 20 cm dari permukaan tanah. Ada baiknya kalau setiap kali panen ditinggalkan satu – dua cabang untuk merangsang tumbuhnya tunas-tunas baru pada fase selanjutnya.
            Terna (daun dan ranting) hasil panen dikering anginkan selama 2-3 hari untuk mengurangi kadar air sampai 15%, lapisan daun harus dibalik 2-3 kali sehari. Daun yang sudah cukup kering dapat disimpan atau langsung disuling.
            Hindari pengeringan yang terlalu cepat atau terlalu lambat. Pengeringan yang terlalu cepat membuat daun menjadi rapuh dan sulit disuling. Kalau terlalu lambat seperti musim hujan, daun menjadi lembab dan mudah terserang jamur, hingga rendemen dan mutu minyak yang dihasilkan rendah.

Proses penyulingan
            Penyulingan minyak nilam adalah suatu proses pengambilan minyak dari terna kering dengan bantuan air, dimana minyak dan air tidak tercampur. Penyulingan minyak nilam pada umumnya dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu :
1.    Penyulingan secara dikukus, pada cara ini bahan (terna kering) berada pada jarak tertentu di atas permukaan air (Gambar 1).
2.    Penyulingan dengan uap langsung, dimana bahan berada dalam ketel suling dan uap air dialirkan dari ketel uap pada bagian bawah suling (Gambar 2a dan 2b).






















Gambar 1. Alat penyulingan minyak nilam secara dikukus

            Kapasitas tangki suling umumnya dinyatakan dalam volume (liter). Kerapatan (bulk density) terna nilam kering berkisar antara 90-120 g/liter, tergantung dari persentase daun dan kadar airnya.
            Bahan konstruksi alat suling akan mempengaruhi mutu minyak dan warna minyak. Jika dibuat dari bahan plat besi tanpa digalvenis akan menghasilkan minyak berwarna gelap dan keruh karena karat. Alat suling yang baik adalah dibuat dari besi tahan karat (stainless steel), atau plat besi yang digalvanis (carbon steel) setidaknya pada bagian pipa pendingin dan pemisah minyak, agar diperoleh hasil minyak berwarna lebih muda dan jernih.
            Terna kering yang sudah dimasukkan kedalam ketel suling, sebaiknya dibasahi dengan air supaya terna tersebut dapat dipadatkan. Pembasahan dan pemadatan dilakukan terhadap terna selama pengisian ketel suling. Harus diingat bahwa penyulingan terna kering nilam akan menyerap air sebanyak bobotnya jadi pada penyulingan yang menggunakan sistem kohobasi hal ini harus diperhatikan agar tidak terjadi kekurangan air selama penyulingan.
            Lama penyulingan dengan cara dikukus antara 5-10 jam, sedangkan dengan cara uap langsung  lamanya berkisar antara 4-6 jam. Lama penyulingan ini tergantung dari cara, kapasitas ketel suling dan kecepatan penyulingan. Untuk penyulingan secara dikukus, kecepatan penyulingan yang baik adalah 0,6 uap/kg terna. Pada penyulingan dengan uap langsung tekanan uap mula-mula 1,0 ATM, lalu dinaikkan secara bertahap sampai 2,5 – 3 kg/cm2 (tekanan dalam ketel suling 0,5-1,5 kg/cm2) pada akhir-akhir penyulingan. Hal ini dimaksudkan agar fraksi berat antara lain patchouli alkohol sebagian besar baru akan tersuling pada suhu tinggi atau jika waktu penyulingan cukup lama (Mauludi dan Asman, 2005).































Gambar 2a. Penyulingan dengan uap langsung (tanpa tekanan)

























Gambar 2b. Penyulingan dengan uap langsung (skala besar)

DAFTAR PUSTAKA

Akiew, A. and P.R. Trevorrow, 1994. Management of Tobacco. Bacterial wilt. The    disease and its causal agents. Pseudomonas solanacearum. CAB. International p.179-197.

Asman, A., Ester M., Adhi dan D. Sitepu, 1998. Penyakit layu, budok dan penyakit lainnya serta strategi pengendaliannya. Monograf nilam. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat 5 : 84-88.

BPEN, 2003. Buyer guide to Indonesia essential oil. Deperindag – Jakarta.

Ditjen Perkebunan, 2006. Nilam. Statistik Perkebunan Indonesia. 2003-2006. 19 hal.

Djiwanti, S.R. and Momota, 1991. Parasitic nematodes associated with patchouli disease in West Java. Indust. Crops. Res. J. 3 (2) : 31-34.

Dummond, H.M., 1960. Patchouli oil. Journal of Perfumery and Essential Oil Record :  484-492 p.

Forgain, R. and S.R. Gowen, 1996. Investigations on possible mechanisms of resistance to nematodes in Musa. Euphytica 92 : 375-381.

Evans, K., 1982. Water use, calsium uptake and tolerance of cyst. Nematode attack in potatoes. Potato Res. 25:71-88.

Guenther, E., 1952. The Essential Oils. D. van Nostrand Co. Inc. New York. 2nd Ed. III 552-574p.

Hernani dan Risfaheri, 1989. Pengaruh perlakuan bahan sebelum penyulingan terhadap rendemen dan karakteristik minyak nilam. Pembe. Littri. 15 (2) : 84-87.

Ibnusantosa, G., 2000. Kemandegan pengembangan minyak atsiri Indonesia. Makalah disampaikan pada seminar “Pengusahaan Minyak Atsiri Hutan Indonesia”. Fak. Kehutanan IPB Darmaga Bogor, 23 Mei 2000.

Malakeberhan, H.T., H.J. Newbury & B.V. Ford-Lloyd, 1996. The detection of somaclonal variants of  beet using RAPD. Plant. Cell Rep. 15, 474-478.

Mardiningsih, T.L., Triantoro, S.L., Tobing dan S. Rusli, 1995. Patchouli oil product as insect repellent. Indust. Crops. Res. Journal 1 (3) : 152-158.

Mauludi, Ludi, Ariful Asman, 2005. Profil Investasi Pengusahaan Nilam. Unit Komersialisasi Teknologi Balittro. 42 hal.

Mulya, K., Supriadi, Ester, M.Adhi dan Nuri Karyani, 2000. Potensi bakteri antagonis dalam menekan perkembangan penyakit layu bakteri jahe. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 6 (2) : 37-43.

Mustika I., Y. Nuryani dan O. Rostiana, 1991. Nematoda parasit pada beberapa kultivar nilam di Jawa Barat. Bull. Littro VI (1) : 9-14.

Mustika I. And O. Rostiana, 1992. The growth of four patchouli cultivars infected with Pratylenchus brachyurus. Journal of Spice and Medicinal Crops 1 (2) : 11-18.

Mustika I., dan Susilo B. Nazarudin, 1998. Gangguan nematoda dan cara pengendaliannya. Monograf Nilam. Balittro 5 : 89-95.

Nasrun, 1996. Penggunaan Pseudomonas fluorescens dalam pengendalian penyakit layu tanaman jahe. Proc. Seminar on integrated control on main disease of industrial crop. Bogor 12-14 Maret 1996. hal 160-165.

Nasrun, Y. Nuryani, Hobir dan Repianyo, 2004. Seleksi ketahanan nilam terhadap penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum). Secara in planta. Journal Stigma XII (4) : 421-473.

Nelson, P.E., 1981. Life cycle and epidemiology of fusarium oxysporum in M.E. Moel. A.A. Ball and C.H. Beckman. Fungol with disease of plants. Academic. Press. New.York.640 p.

Nurdjannah, N. dan Makmun, 1994. Pengeringan bahan dan penyimpanan daun nilam kering. Pembr. Litantri XX (1-2) : 11-15.

Nuryani, Y., dan E. Hadipoentyanti, 1994. Koleksi, Konservasi, Karakterisasi dan Evaluasi Plasma Nutfah Tanaman Atsiri. Review hasil dan program penelitian plasma nutfah pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Deptan Hal, 209-219.

Nuryani, Y., C. Syukur dan Dadang Rukmana, 1997. Evaluasi dan Dokumentasi Klon-klon Harapan Nilam. Laporan Tahunan (tidak dipublikasikan).

Nuryani, Y., C. Syukur, Rita Harni, Yelnititis dan I. Mustika, 1999. Tanggap beberapa klon nilam terhadap nematoda pelubang akar (Radophulus similis Cobb.). Jurnal Littri 5 (3) : 103-109.

Nuryani Y., Ika Mustika dan Cheppy Syukur, 2001. Kandungan fenol dan lignin tanaman nilam hibrida (Pogostemon sp.) hasil fusi protoplas. Jurnal Littri 7 (4) : 104-107.

Nuryani, Hobir, Cheppy Syukur dan Ika Mustika, 2004. Usulan Pelepasan Varietas Nilam. 22 hal (tidak dipublikasikan).

Prior, P.V. Grimault and J. Schmit, 1994. Resistance to Bacterial Wilt (Pseudomonas solanacearum) in Tomato. Present status and Prospect. Bacterial wilt. The disease and its causative agent Pseudomonas solanacearum. CAB International p.115-119.

Robin, S.R.J., 1982. Selected market for the essential oils of patchouli and vetiver. Tropical Product Institute Ministry of Overseas Development. Great Britain G. 167: 7-20.

Rosman, R., Emmyzar dan pasril Wahid, 1998. Karakteristik lahan dan iklim untuk perwilayahan pengembangan. Monograf nilam. Balittro 5 : 47-54.

Rusli, S., Hobir,. A. Hamid, A. Asman, S. Sufiani dan M. Mansyur, 1993. Evaluasi Hasil Penelitian Minyak Atsiri, Balittro. 15 hal.

Singh, R.K. and R.D. Chaudhary, 1979. Biometrical methods in quantitative genetic analysis, Kalyani Publishers. New Delhi. 299 p.

Simmonds, N.W., 1982. Principles of Crops. Improvement. Logman. London-New York.

Sitepu, D. dan A. Asman, 1991. Penelitian penyakit nilam di Aceh. Laporan Kerjasama PT. Pupuk Iskandar Muda dan Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor 22 hal.

Soetopo, D.,L.M. Trisawa dan Wiratno, 1998. Hama penting dan strategi pegendaliannya. Monograf nilam. Balittro 5 : 75-83.

Supriadi, Karden Mulya dan Djiman Sitepu, 2000. Strategy for controlling wilt diseases of ginger caused by Pseudomonas solanacearum. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 19 (3) : 106-111.

Valette, C., C. Andary, J.P. Geiger, J.L. Sarah and M.Nicole, 1998. Histochemical and cytochemical investigations of phenols in roots of banana infected by the burrowing nematode radopholus similis. Phytopathotory 88 (11) : 1141-1147.

Tasma, I.M., dan P. Wahid, 1988. Pengaruh mulsa dan pemupukan terhadap pertumbuhan dan hasil nilam. Pembr. Littri. XV (1-2) : 34-40.

Trifilief, E., 1980. Isolation of the postulated precurser of nor patchoulenol in patchouli leaves. Phytochemistry 19. 2464.

Trisawa, I. M., dan Siswanto, 1994. Pengaruh ekstrak biji nimba terhadap ulat penggulung daun dan tungau merah pada tanaman nilam. Laporan Hasil Penelitian. 11 hal (tidak dipublikasikan).

Wallace, H.R., 1987. Effects of nematode parasites on photosynthesis. Vitos on Nematology. A. commemoration of the Twentyfifth anniversary. Society of Nematologists. Ins. Hyattville, Maryland. 34 : 253-259.

Walker, T.G. 1969. The structure and synthesis of patchouli alcohol. Manufacturing chemist and aerosol news p.2.

Lampiran

Tabel 1. Diskripsi 3 varietas nilam

No Seleksi/Karakteristik

0012
0007
0013
Asal
:
Tapak Tuan (NAD)
Lhokseumawe (NAD)
Sidikalang (Sumut)
Tinggi tanaman (cm)
:
50.57-82.28
61.07-65.97
70.70-75.69
Warna batang muda
:
Ungu
Ungu
Ungu
Warna batang tua
:
Hijau keunguan
Ungu kehijauan
Ungu kehijauan
Bentuk batang
:
Persegi
Persegi
Persegi
Percabangan
:
Lateral
Lateral
Lateral
Jumlah cabang primer
:
7.30-24.48
7.00-19.76
8.00-15.64
Jumlah cabang sekunder
:
18.80-25.70
11.42-25.72
17.37-20.70
Panjang cabang primer (cm)
:
46.24-65.98
38.40-63.12
43.01-61.69
Panjang cabang sekunder (cm)
:
19.80-45.31
18.96-35.06
25.80-34.15
Bentuk daun
:
Delta, bulat telur
Delta, bulat telur
Delta, bulat telur
Pertulangan daun
:
Menyirip
Menyirip
Menyirip
Warna daun
:
Hijau
Hijau
Hijau keunguan
Panjang daun (cm)
:
6.47-7.52
6.23-6.75
6.30-6.45
Lebar daun (cm)
:
5.22-6.39
5.16-6.36
4.88-6.26
Tebal daun (mm)
:
0.31-0.78
0.31-0.81
0.30-4.25
Panjang tangkai daun (cm)
:
2.67-4.13
2.66-4.28
2.71-3.34
Jumlah daun/cabang primer
:
35.37-157.84
48.05-118.62
58.07-130.43
Ujung daun
:
Runcing
Runcing
Runcing
Pangkal daun
:
Rata, membulat
Datar, membulat
Rata, membulat
Tepi daun
:
Bergerigi ganda
Bergerigi ganda
Bergerigi ganda
Bulu daun
:
Banyak, lembut
Banyak, lembut
Banyak, lembut
Produksi terna segar (ton/ha)
:
19.70-110.00
19.58-59.20
13.66-108.10
Produksi minyak (kg/ha)
:
111.50-622.26
125.83-380.06
78.90-624.89
Kadar minyak (%)
:
2.07-3.87
2.00-4.14
2.23-4.23
Kadar patchouli alkohol (%)
:
28.69-35.90
29.11-34.46
30.21-35.20
Ketahanan terhadap




Meloidogyne incognita

:
Sangat rentan
Rentan
Agak rentan

Pratylenchus bracyurus

:
Sangat rentan
Agak rentan
Agak rentan

Radhopolus similis

:
Rentan
Rentan
Agak rentan

Ralstonia solanacearum

:
Rentan
Rentan
Toleran 

Usul nama

:
Tapak Tuan
Lhoksemawe
Sidikalang


Tabel 2. Analisis Usaha Tani

No.
Uraian
Vol. Hok
Biaya satuan (Rp)
Jumlah biaya (Rp)
I.
UPAH
Persiapan lahan & pemetakan
Persiapan bahan tanaman
Pengajiran, pembuatan lubang tanam dan saluran drainase
Pemberian pupuk kandang dan penutupan lubang tanam
Pengendalian hama dan penyakit
Pemupukan dan perbaikan saluran drainase
Pemeliharaan
Panen
Penanganan bahan

100
90
100
60
20
25
60
70
60

15
15
15
15
15
15
15
15
15

1 500
1 200
1 500
900
300
375
900
1 050
900

JUMLAH


8 625
II.
BAHAN
Pupuk oraganik
Pupuk anorganik
Bahan tanaman/setek
Pestisida
Sprayer
Bahan kimia
Bahan pembantu (bambu, polibag, plastik, meteran, pisau pangkas, ember, selang dll)

41 ton
50 kg
25 000
1 paket
2 unit
1 paket

1 paket

100
3
125
250
500
1 500

1 000

4 100
150
3 125
250
1 000
1 500

1 000

JUMLAH


10 075

TOTAL BIAYA I + II


18 700
III.
A) Hasil penjualan terna
     Hasil penjualan – biaya
     B/C rasio
 B) Biaya penyulingan
     Hasil penjualan minyak
     Hasil penjualan minyak-biaya budidaya-biaya  
     Penyulingan
     B/C ratio
12 000 kg


350 kg
350 kg

2,5


73
200
30 000
11 300
1.60
25 550
70 000

25 800
1.58



*) Makalah disampaikan pada Pelaksanaan Pembekalan Teknis untuk Rintisan Pengembangan Usaha Tani dan Fasilitasi Penumbuhan Kelompok Usaha Tani Tanaman Penghasil Minyak Atsiri TA. 2006 di Kabupaten Tanah Laut, tanggal 9 Agustus 2006.